Saya sepakat bahwa teknologi otomotif terkini ada yang cukup atau bahkan sangat bermanfaat. Fitur seperti ABS dan airbag mungkin seharusnya sudah menjadi aturan wajib bagi mobil yang beredar di pasar. Tapi untuk fitur/assesoris lain, mungkin tidak terlalu penting.
Hal yang tidak saya sukai adalah penambahan fitur/assesoris tersebut yang kemudian dijadikan alasan (excuse) bagi ATPM untuk mendongkrak harga mobil. Daripada menambah gimmick nggak penting, mendingan tambah silinder dan cc yang lebih besar atau pasang turbo sekalian.

Tapi teknologi juga bisa membuat kita tumpul. Contoh simpel, semisal saya ingin jalan dari BSD ke Pondok Indah, saya tahu persis beragam rute yang bisa dilewati (tol, non tol, alternatif, jalan tikus, dsb). Sekarang, sebagian besar sudah lupa. Persis seperti dulu kita ingat nomor telepon rumah, kantor, sodara, tetangga, dsb. tapi sekarang nomor telepon istri saja masih suka salah.
Makin kompleks suatu mobil, selain makin berkurang aspek ‘fun to drive’ juga makin berkurang juga aspek ‘fun to maintain”. Saya termasuk yang suka ngoprek/DIY. Seandainya mobil tiba-tiba mogok di jalan, tidak mau distarter, knalpot mendadak berasap, gas dibejek nggak narik, dsb, kita bisa troubleshoot sendiri (walaupun nantinya tetap akan dibawa ke bengkel untuk thorough check). Mobil sekarang dengan berbagai fitur/assesoris? Sudah cukup rumit rasanya. Apa-apa harus dicek ke sensor komputer soalnya.
Nah, aspek ‘fun to drive’ dan ‘fun to maintain’ ini membuat semacam ikatan personal/emosional antara pengendara dengan mobilnya. Akibatnya, kita naik mobil juga nggak asal-asalan. Sementara orang sekarang rasa-rasanya sebagian besar menganggap mobil sekedar sebagai ‘tools’ saja yang membawa kita dari A ke B. Tidak ada ikatan apa-apa.
Sedikit OOT.
Saya juga melihat bahwa orang sekarang banyak yang bisa mengendarai mobil (dan motor) tapi tidak bisa berlalu-lintas dengan baik. Pemahaman tentang etika dan toleransi di jalan, cara menyalip kendaraan yang sopan, bagaimana berpindah jalur yang benar, kapan harus menyalakan hazard, dsb. masih banyak yang salah. Dan ini terjadi tidak hanya di mobil murah/LCGC, tapi juga di mobil-mobil mewah/mahal.
Saya sendiri tidak mendukung autonomous car. What’s the point? Lebih baik resources yang ada dikerahkan untuk mengembangkan public transport yang bagus, nyaman, murah, reliable, syukur hemat energi/ramah lingkungan.
Saya berpendapat selama kita masih harus membeli kendaraan sendiri untuk basic activities kita (bekerja, bersosialisasi, dsb), maka selama itu pula negara kita belum maju. Di negara maju, kita bisa hidup tanpa harus punya kendaraan pribadi karena public transportnya terjamin. Di Indonesia? Masih ada kebutuhan itu (selain juga untuk prestige dan social image tentunya).