
Kali ini saya akan coba sebuah format baru review yang belum pernah saya buat sebelumnya. Saya akan coba bahas sebuah point of view yang akan saya sinkronkan dengan review komparasi. Tema yang akan saya angkat di review kali ini adalah Low Cost Green Car, dan seperti judul yang tertera, tulisan ini akan berpotensi memiliki kontroversi. Sehingga perlu saya ingatkan sekali lagi bahwa tulisan review adalah murni Point of View penulis; jangan terlalu diambil serius, and don't get butt-hurt.

THE DARK SIDE OF LCGC : IS IT REALLY LOW COST? OR IS IT EVEN GREEN?
Low Cost Green Car. Nama sebuah program yang jika di baca sekilas terdengar sophisticated (dan rencana aslinya memang sophisticated), adalah program pemerintah yang dikeluarkan oleh Kementrian Perindustrian untuk mendorong sektor industri otomotif di Indonesia. Niat awalnya baik, yaitu agar Indonesia dapat memproduksi mobil yang ramah lingkungan (emisi karbon rendah) dan sesuai dengan standar minimum EURO3. Yup, sekali lagi, mobil dengan emisi karbon rendah sesuai standar minimum EURO3. Akan tetapi karena spokesperson yang cupu dan sosialisasi yang pada akhirnya melenceng, didukung dengan translasi redaksional media yang ngaco, LCGC berubah pengertian begitu sampai di masyarakat menjadi "mobil murah dan terjangkau"

Well, sekilas nampaknya ga ada yang salah dengan semua itu.. Mobil pribadi jadi lebih mudah dijangkau oleh pemilik UKM dan PNS, bengkel resmi bisa upping harga unit non-LCGC seenaknya, yang berduit gak kepengaruh naiknya harga mobil, petugas pajak semakin banyak kesempatan penggelapan pajak, dan pemerintah bisa bagi-bagi duit korupsi dari investasi jutaan Dolar perusahaan Jepang. Everybody wins. Tapi apakah semuanya betul positif?

• Is it really green?
• Is it really cheap?
Tentang "Green", well, ada beberapa argumentasi untuk menjawab hal ini, terutama beraroma positif; proses produksi efisien, dan konsumsi BBM biasanya ujung tombak utama pembenaran bahwa semua LCGC green. Buat saya, jawabannya tidak seperti itu.. Green itu adalah sebuah concern, sebuah gaya hidup yang sustainable, sebuah budaya untuk melestarikan lingkungan dalam jangka panjang. Sedang "Green" versi marketing seringkali sudah melenceng pengejawantahannya sebagai efisiensi proses dan packaging, dalam industri otomotif, mobil semakin ringan, dengan emisi mesin semakin kecil (kalau bisa tenaga listrik) maka sudah cukup untuk menyandang batch "Green". Padahal belum tentu. Untuk masa jangka panjang, dalam proses pembuatannya, mobil dengan bantu induksi dan elektrik mengeluarkan emisi lebih besar dari mobil biasa, pun dalam proses recycle, degradasi batere mobil elektrik yang saat ini baru maksimal dipakai 10 tahun pemakaian. Puluhan kali lebih cepat rusak dan jauh lebih merusak lingkungan dibanding mobil konvensional. Belum lagi bicara kapasitas produksi membesar dan cycle renewal produk yang makin cepat, saya menyimpulkan bahwa "Green" yang ditawarkan oleh produsen mobil pada saat ini tidak sustain. Akan jauh lebih "Green" jika pabrikan menggalakkan gerakan revitalisasi mobil bekas dan menelurkan program penjualan second hand seperti BMW Selected Premium.
Maka dari itu, LCGC sendiri tidak bersifat green. Kenapa? Karena jika mengambil contoh di kota padat seperti Jakarta, tanpa data statistik pun penikmat utama LCGC bisa dipastikan adalah pekerja yang tinggal di pinggiran luar kota Jakarta (Bogor, Tangerang, Bekasi), tiap hari harus melewati ruas tol untuk keluar masuk kota pergi ke kantor dan pulang ke rumah. Volume kendaraan menjadi jauh lebih padat dengan semakin banyaknya pengguna jalan, macet yang membuat stalling sangat lama juga akan merusak fuel consumption yang di dewakan pemilik LCGC, dan bahan bakar premium yang PASTI 99% digunakan pemilik LCGC apakah benar akan sesuai target emisi Euro 3?

So I called bullsh*t for calling LCGC as a Green Movement. Irit iya, hijau? Tidak. Hijau buat dompet doang. Harusnya ganti literasi menjadi Low Cost Economical Car. Jangan bawa-bawa environment.
Tentang "Cheap", ini lebih menarik lagi untuk dibahas, menurut saya. Memang bisa dibilang parameter satu-satunya adalah harga, tapi akan jadi menarik jika dilihat dari sudut pandang berbeda. Sudut pandang konvensional; yes, LCGC is cheap, karena jauh lebih terjangkau dibanding non LCGC. Sudut pandang saya; maybe not. Begini penjelasannya : Suka atau tidak, bangsa kita sudah dibudayakan untuk "membeli", bukan "investasi". Mungkin lebih enak dijelaskan dengan bahasa Inggris; most of our people still don't know the difference between "Able to Buy a car" and "Able to Afford a car". "Afford" artinya bisa membeli tanpa menimbulkan resiko kesulitan keuangan yang lain, sedang kalau sekedar "Buy" artinya bisa beli mobil, tapi pembelian itu bisa menimbulkan resiko kesulitan yang lain.
Bingung?
Contoh extreme real-nya gini;

Ngerti? Banyak yang mau beli mobil mewah, yang berdasar hukum dan atau spesifikasi harus menggunakan bahan bakar non-subsidi, tapi tetep nanya apakah bisa pakai bahan bakar subsidi, karena dompetnya gak siap. Jiwa tanggung jawabnya kurang. Kedewasaannya kurang. Hukum pun lemah, lha gimana enggak? Yang bikin hukum aja masih banyak yang ngelanggar. Singkat cerita, apa hubungannya "cheap" LCGC sama kedewasaan Bangsa kita? Jawabannya: masih ingat tragedi Afriyani? SMA Hang Tuah? Atau tragedi anaknya artis Indonesia yang punya jenggot dikepang mirip jenggot kambing (lupa namanya siapa) yang nerbangin Lancer dan menghancurkan GranMax berisi penuh penumpang itu? Atau Ford Fiesta yang baru-baru ini masuk selokan di Summarecon?
Yang pertama nyetir karena under-influence, dua berikutnya under-age, dan yang terakhir karena BBM-an sambil nyetir.
Kesadaran akan safety terbukti masih belum mencadi concern utama di jalanan Indonesia. Skill gak ada tapi udah boleh nyetir ke sekolah, texting and driving masih dianggap hal lumrah, apalagi under-influence cuman ada undang-undangnya doank tapi tidak dengan solusi seperti Driver-for-Hire di pusat gaulnya kota besar. Dengan adanya LCGC, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi? Saya sudah survey ke beberapa SMA ternama di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, yang mendominasi di parkirannya adalah Honda Brio dan saudara LCGC dan LMPV lainnya.

Kalau sudah mempertimbangkan faktor ini, maka LCGC bukanlah mobil murah, kenapa? Karena tanah pemakaman di daerah yang proper harganya sudah menjulang tinggi, bahkan di beberapa daerah, tanah berukuran hanya 2x1 meter saja bisa berharga lebih dari 2 Miliar Rupiah.. Okelah, palingan buat yang ngasih anak under-age nya sendiri LCGC palingan ngasih tanah kuburan yang harganya maksimal 200 jutaan - tetep saja itu lebih mahal dari mobilnya tho?

____________________________________________________________________________________________________________________
Kontroversial ya tulisan saya? Sudah saya peringatkan di bagian paling atas, jangan terlalu serius membaca tulisan ini. Saya hanya emphasis di bagian-bagian utama bahayanya dengan contoh extreme. Saya tidak menyatakan semua pengguna LCGC irresponsible, dan saya sangat setuju jika disikapi dengan baik, maka LCGC merupakan gerakan yang sangat menunjang perekonomian Indonesia dari skala kecil hingga besar. Tapi yuk, saya coba ajak merenung sejenak dengan beberapa contoh extreme yang saya paparkan diatas, lalu coba di ejawantahkan dalam skenario yang lebih soft.. Saya yakin anda semua setuju bahwa teori saya tidak 100% salah.. Malah mungkin beberapa dari anda menyetujui teori saya 100%.
Intinya, menurut saya, gerakan LCGC merupakan gerakan yang terlalu terburu-buru untuk di aplikasikan. Sosialisasinya salah, infrastruktur belum menunjang, bahkan hukum pun dirancang sambil jalan bukan dirancang dari awal. Sehingga LCGC sama sekali tidak memenuhi tujuan mulia awal programnya yang disimpulkan dalam namanya; Low Cost, Green Car.
Nah... Terus saya mikir... Kalau definisi LCGC ini di tweaking sedikit;
• Low Cost : Irit BBM dan safety tinggi, dan
• Green Car : Emisi rendah, ukuran kecil, dan gak bikin macet di jalan
Maka mobil apa yang kiranya terbaik untuk disebut sebagai LCGC?

Disinilah review yang sebenarnya dimulai:
Untuk spesifikasi Low Cost, maka ane tetapkan kalau displacement mesin yang boleh masuk klasifikasi ditetapkan maksimal 1600cc, dan minimum requirement memiliki sertifikasi NCAP dari region manapun.
Untuk spesifikasi Green Car, ane tetapkan kalau mesin yang digunakan minimum sudah support EURO3, maksimal berukuran hatchback, dan tidak ada batasan rentang harga (semakin mahal semakin eksklusif, makin tidak menyebabkan macet - relevan kan?)

Setelah survey yang menghabiskan waktu kira-kira 1 bulan, ane berhasil mengumpulkan jawara-jawara yang layak diadu untuk dinobatkan menjadi The Best LCGC - SM Edition. Kandidat-kandidat ini ane bagi berdasar rentang harga 0-200 juta Rupiah, 200-400 juta Rupiah, 400-600 juta Rupiah, 600-800 juta Rupiah, dan 800-1 Miliar Rupiah. Berikut kandidat-kandidatnya:
0-200 juta Rupiah : Mitsubishi Mirage Exceed 2014
200-400 juta Rupiah : Ford Fiesta EcoBoost 2014 & Suzuki Swift Sport 2014
400-600 juta Rupiah : Fiat 500 Lounge 2014
600-800 juta Rupiah : Peugeot 208 GTI 2014
800-1 Miliar Rupiah : MINI John Cooper Works 2014

Lho? Kenapa di kelas kedua terdapat 2 kandidat?..... Karena dalam ujicoba pra-eliminasi tiap kelas, saat menguji kelas 200-400 juta rupiah, kedua kandidat memiliki karakter masing-masing yang sangat kuat dan layak dinobatkan menjadi LCGC terbaik saat ini, jadi saya maklumi Suzuki Swift Sport untuk tetap masuk dalam pertimbangan.
Adapun hal lain yang pada akhirnya membuat saya sadar setelah semua kandidatnya terkumpul; ternyata semua kandidat jawara the Best LCGC memiliki DNA Hot-Hatchback!
So let it begins, possibly the weirdest and the most eccentric battle between hot-hatchbacks to be crowned as the best LCGC today!
#weird #iknowright #whatthehell
____________________________________________________________________________________________________________________
CLASS 0-200 : MITSUBISHI MIRAGE EXCEED 2014
Di hari pertama ini ada 6 mobil yang datang, 3 yang diundang, dan 3 sebagai pendatang gelap.. Mereka adalah Honda Brio Manual, Toyota Agya, Mitsubishi Mirage Exceed, New Honda Jazz RS, Ford Fiesta EcoBoost, dan Suzuki Swift Sport. Begitu mengetahui rencana komparasi yang akan saya lakukan, masing-masing owner bersikeras dengan kelebihan mobilnya masing-masing, yang mana pada akhirnya sesi fotografi di awal kumpul berubah menjadi debat hangat antar sahabat


Unit yang saya coba merupakan varian tertingginya (kalau gak salah) yaitu Exceed. Yang mana dibanding yang lain ini setirnya udah dilapis kulit, udah dapat fog lamp, muffler, spoiler, ada audio switch di setirnya, dash-nya 2-tone, udah ABS dan EBD, dan yang penting; Keyless. jujur pertama kali saya masuk ke Mirage 2 bulan kebelakang, ekspektasi saya begitu besar karena review bersinar mobil ini di SM.

PROS :
1. Terasa sangat kecil dan ringan di jalan, bahkan terasa sama kecil dengan MINI Cooper.
2. Rem-nya terasa mantap.
3. Kalau diakalin sama eco driving pasti bisa irit sekali.
4. Engine comes alive at higher RPM.
5. Peredaman atap di tengah hujan jauh lebih baik dari LCGC standar lainnya (Brio dan Agya).
CONS :
1. Ban bawaan buruk sekali grip-nya di hujan, nyaris tidak ada traksi di kecepatan tinggi. (tinggal ganti)
2. Plastic interiornya brittle.
3. Walau lebih baik dari sebangsanya, body control Mirage masih kacrut, chassis flexing terasa besar, ditambah pantulan suspensi yang gak nyaman di jalan rusak dan juga makin tidak nyaman ketika diajak ngebut.
4. The steering is slow, unresponsive. Memberikan bobot lebih baik dari Brio, tetapi lock to lock steering terlalu besar.. Setting yang sangat aneh sekali buat mobil sekecil ini. Dan yang paling parah:
5. Insulasi karet pintu. Gila, orang ngobrol di luar mobil, naik motor, saat hujan deras, masih terdengar loud and clear... Faktor terakhir ini yang bikin ane jadi ilfil dan mempertanyakan QC Mitsubishi.
Verdict : Small, nippy, and the best drivetrain among other normal LCGCs. But, failing miserably in other areas. Build quality is questionable, chassis balance is bad, the steering is unresponsive, not the most roomy and the seats are not comfortable. It does makes me wonder about the safety issues, it didn't make me feel safe driving it. Mirage does have some charms that attracts people who love driving, but frankly, it is easily forgotten and replaceable with others. It isn't that special. I don't get what the fuzz is all about.

Price : 165 Million Rupiah
Rival : Brio, Agya, Ayla, Wagon, dll dsb
Stig's Score : 3/10
____________________________________________________________________________________________________________________
CLASS 200-400 : FORD FIESTA ECOBOOST 2014 A/T
Sebelum mengambil keputusan kalau Fiesta EcoBoost ini layak untuk menjadi kandidat jawara, saya melakukan komparasi singkat dengan rival terdekatnya yang lain: All-New Jazz RS, All-New Yaris, dan Mazda2 RZ. All-New Yaris secara otomatis keluar dari kriteria saya karena ukurannya sudah menyasar medium sedan, bukan city car lagi

EKSTERIOR

Dari segi eksterior, EcoBoost diluncurkan dalam bentuk Fiesta facelift, yang mana selain desain grill saya gak ngeh mana lagi yang terkena perubahan. Tapi walaupun hanya dengan perubahan desain grill, new Fiesta sudah sangat terlihat berbeda dibanding pendahulunya. Sekarang Fiesta terkesan lebih lebar (walaupun ukurannya sama) dan up-market. Beberapa orang merasa bahwa desain grill trapezoidal Fiesta saat ini membuat Fiesta kehilangan karakter desainnya, kehilangan originalitasnya karena menjadi mirip dengan desain Aston Martin. Well, I don't think so.. I think it is brilliant. Fiesta sebelum facelift terkesan terlalu understated, tidak kelihatan seperti mobil yang memiliki double-clutch gearbox, terlalu generik karena grill plastik dan 2 gigi silver tonggos di bagian depannya, terlihat... biasa. Desain grill yang baru saat ini, walau perubahannya kecil, sedikit banyak bisa merubah ekspektasi orang awam terhadap mobil ini sambil tetap understated, karena orang pasti tetap kaget dengan kualitas dan fitur yang ditawarkan dalam paketnya. Tidak orisinil karena mirip dengan Aston Martin, yang merupakan mobil terganteng diseluruh dunia? Well, saya gak akan pernah protes kalau dilahirkan mirip dengan Ryan Gosling, so...

INTERIOR

...

Ndak ada perubahan apapun rasanya.. Space depan cukup, belakang agak sempit tapi tidak cramped, bagasi cukup lebar walaupun ukuran mobilnya kecil, terasa lebih besar dari Mazda2. Build quality setingkat diatas rivalnya yang lain, plastiknya terasa solid, dan fabrik jok-nya terasa well-made, lebih baik dari City walau masih beberapa tingkat dibawah fabrik Golf. Satu-satunya kekurangan adalah di panel-panel plastik berwarna yang ada di dalamnya, seperti silver di setir dan hitam piano di bagian head-unit.. Terasa murah, dan mengingatkan kembali kita berada di mobil yang levelnya dekat hanya setingkat diatas LCGC.
POWERTRAIN
Nahh.. Ini highlight-nya.. Menggunakan mesin EcoBoost, 3 silinder, 995cc (1 Liter). Mesin yang bersama-sama di develop dengan 3 mesin EcoBoost lainnya yaitu L4 1.6L dan L4 2.0L (Evoque & Focus ST), dan V6, dan dalam proses pembuatannya begitu banyak inovasi yang ditanamkan di dalam mesin ini sehingga sampai saat ini Ford sudah melaporkan 125 paten teknologi baru yang di proposalkan ke lembaga paten Amerika, dan dalam jangka waktu 1 tahun, EcoBoost berhasil mendapatkan predikat sebagai World Best Engine 2012. Gila.


Dengan inovasi dan ketenaran yang didapatkan EcoBoost, saat ini mesin ini menjadi kebanggaan Amerika dan seakan dijadikan "figur" aset digdaya-nya negeri Paman Sam.. Di setiap wawancara mengenai EcoBoost, Ford selalu menekankan kalau mesin ini "Made in USA". Faktanya adalah; mesin ini di develop oleh Ford bekerjasama dengan FEV, sebuah perusahaan yang berbasis di Amerika, tetapi dimiliki oleh orang Jerman dan memiliki sebagian besar engineer berwarga negara Jerman... Dan EcoBoost L3 yang dipasang di Fiesta itu sendiri di develop di UK.. So....
Anyway, adapun beberapa funfacts mengenai mesin L3 Fiesta ini, antara lain:
• Memiliki output tenaga maksimal 110 HP (atau setara dengan mesin 1.6L Fiesta sebelumnya) dan torsi 170 NM atau setara dengan torsi mesin 2400cc i-VTEC CRV dan Fiat Abarth saat pertama kali diluncurkan, dan semua itu dihasilkan oleh mesin yang engine block-nya ukurannya lebih kecil dari kertas A4!.. How mad is that?
• Berikutnya, jika saat ini tren yang sedang mewabah adalah membuat engine block dari aluminium agar ringan bobotnya, L3 di Fiesta tetap menggunakan cast iron karena ternyata efisiensi yang ditawarkan jauh lebih baik dari blok mesin aluminium, walau lebih berat secara bobot.
• Waktu yang dibutuhkan mesin EcoBoost L3 untuk bekerja optimal dari awal dinyalakan hanya membutuhkan waktu belasan detik atau sekitar 2 kali lebih cepat ketimbang mesin induksi lainnya seperti CGI contohnya, hal ini dikarenakan desain exhaust manifold yang di cast langsung ke cylinder head-nya.
• Mesin EcoBoost L3 ini dinobatkan sebagai mesin L3 dengan NVH terendah, bahkan menyamai NVH mesin 4 silinder non-turbo. Hal ini salah satunya disebabkan oleh desain flywheel dan pulley yang sengaja di posisikan di ujung-ujung berlawanan sehingga tidak balance, lalu di balance dengan offset crankshaft yang meng-counter getaran berlebih yang dihasilkan, setelah itu engineer masih menambahkan 3 damping vibrations, special engine mounting yang bisa meredam getaran, dan timing belt system yang secara konstan dibalur oleh oli mesin untuk mengurangi friksi dan bunyi yang timbul.
Udah ah capek, langsung ke sensasi berkendara saja..
TEST DRIVE
Pertama menyalakan mobil ini hal yang saya lakukan adalah meletakkan tangan diatas dashboard. Saya langsung cari celah untuk menjatuhkan mesin ini, karena bisa saja overrated karena excessive marketing, saya pengen cek betul atau tidak getaran NVH mesin ini kecil.. Udah 3 silinder, turbo lagi.. Gak masuk akal kalau gak ada getaran berlebih. 10 detik berjalan, 20 detik berjalan.. Makin lama saya diam, makin pangling saya dibuatnya.. Mesin 3 silinder EcoBoost di Fiesta ini betul-betul tenang!

Singkat cerita, saya ajak mobil ini menuju ke daerah superblock dengan jalan 3 jalur yang panjang dan lengang untuk test akselerasi dan top speed. Dari keadaan diam, saya injak rem dan tahan putaran mesin ke 1000 RPM dan begitu lepas rem, saya bejek gas dalam dalam..
Boom!
Mobil melesat menghempaskan saya ke kursi, mesin bergetar lebih banyak dari mesin 4 silinder, dan torque-steering membelokkan setir ke kiri dan ke kanan harus sedikit di counter. Kecepatan bertambah eksponensial setara dengan jarum RPM yang naik perlahan ke 2000-2500-3000-3500.. Disertai dengan suara yang sangat tidak indah di telinga, Fiesta Ecoboost terasa lebih liar di putaran bawah ketimbang Mazda6.
Melewati 100 kpj, mobil kecil ini terasa masih memiliki nafas tersisa untuk terus melesat.. Saya lupa hitung waktunya, yang jelas terasa sama cepatnya dengan Golf TSI, hanya lebih liar. Dengan harapan tinggi bahwa mobil ini bisa terus meroket saya bejek gas lebih dalam lagi dan pada saat jarum RPM menyentuh angka 4500 dan kecepatan sudah mendekati 140 kpj, tenaga tiba-tiba loss secara signifikan.... Kampr*t!


Semakin RPM naik ke 5000, semakin hilang tenaganya secara signifikan.. Kecepatan pun sudah tidak bertambah lagi, getaran mesin dan suara bengek makin besar.. Mentok di kisaran 150-160 kpj, padahal speedometer mencapai angka 220 kpj. Opo iki?!

Karena takut mesinnya rontok, ane hentikan laju mobil. Rem merespon sangat baik dan feel nya pun luar biasa baik, kecepatan mobil dapat menurun dengan cepat walaupun mendekati 0 terasa sensasi jerky karena kombinasi dual-clutch dan turbo-nya.
Jika ini mesin 4 silinder 1400cc turbo biasa, then I am not impressed with the performance. But the fact that this is a 3 cylinder 1 Liter turbo still amazed me. I don't like the empty high-rpm sensation, but this engine was made for efficiency, not performance. Based on that, I think this engine really nails the performance figure. I understand and forgive it, dan saya deklarasikan bahwa semua isu tentang EcoBoost's critically acllaimed performance are right.
Lalu tiba saatnya saya coba performanya di tikungan, dan secara langsung saya bisa merasakan ada sebuah perbedaan besar antar Fiesta Sport 1600cc dengan Fiesta Ecoboost ini dari sisi handling. Pada Fiesta 1.6 generasi pertama, titik pivot mobil terasa seperti berada di bagian depan mobil kira-kira di area mesin. Sehingga jika kita menggunakan manuver kejam di tikungan, terasa semua yang bekerja adalah bagian depan mobil. Sedang di Ecoboost, titik pivot terasa berada lebih dekat ke driver, kira-kira di area tengah dashboard. Sehingga walaupun bobot keseluruhannya sama persis dengan sebelumnya, flexing terasa berkurang, bagian belakang mobil menjadi lebih terasa secara keseluruhan, balance mobil terasa sangat meningkat, komunikasi setir ke tangan lebih baik, dan steering yang responsif menyebabkan kenikmatan berkendara EcoBoost lebih besar dari Fiesta yang dulu. Dipadu dengan mesin yang saat ini bertenaga 170 NM, demand untuk chassis yang lebih balance menjadi besar, dan wow.. This new Fiesta is so beautiful to drive. It really nails every corner like I have never felt in other Fiestas before. It is wilder, but at the same time, make us more confidence to attack corner.. Hell.. This isn't even a hot hatch.. But it feels like one.

Saya betul-betul aneh kenapa semua media menggembar-gemborkan mesin EcoBoost, padahal menurut saya pribadi, highlight utama dari Fiesta EcoBoost adalah handling-nya. What a nice surprise.
PROS:
1. "Big" engine, on a really small car.
2. The handling.
3. Reaaaalllly economical. Setelah reset MID, dan hajar maksimal mobil ini dilanjut dengan jalan-jalan muter kota, konversi BBM kedalam km/l menunjukkan angka 14 km/l.
4. Build quality is superb compared to its rivals, even to Suzuki Swift Sport.
5. The handling.
6. The damping quality is so European.
7. Safety rating is the highest and equipments are adequate.
8. Good sound system.
9. Reasonably priced.
10. Really eco-friendly. I don't measure it of course, but I'm sure.
11. And the handling, don't forget the handling.
CONS:
1. It is not what you call roomy inside.
2. Minimal harus Pertamax Plus, karena ketika iseng oplos pakai Premium gejala knocking langsung terasa.
3. Kursinya kurang supportive, agak melelahkan untuk perjalanan jauh.
4. Turbo lag sangat terasa dibawah 1000 RPM, jadi jika terjebak dalam keadaan macet sampai stalling, siap-siap kena sensasi no power-jerky-boost-jerky-no power saat stop and go.. Really not a nice feeling.
5. The engine and exhaust sounds terrible.
Verdict :
Handsome exterior, small and very easy to drive for in-city driving, very economical and at the same time, excellent engine performance makes you feels like you need no more of it, good suspension damping, and that awesome handling. You will forgive everything else, even you'll be willing to work harder to feed it the biggest RON available. Buy only the dual-clutch, don't go for the manual.
Price : 250 Million Rupiah
Rivals : All New Jazz, All New Yaris, Mazda2, All New Swift.
Stig's Score : 8,5 out of 10.
____________________________________________________________________________________________________________________
CLASS 200-400 : SUZUKI SWIFT SPORT 2014 CVT
Sebelum saya mulai, saya ada pertanyaan yang pasti reader SM tau jawabannya dalam 2 detik;
What is the first hot hatchback?
...
Yup, you are wrong.

The first hot hatchback is not the Golf GTI mk I, it was the Simca 1100TI. Hatchback pertama yang bisa jalan 0-100 kpj dalam 12 detik, sangat cepat untuk masanya, tahun 1973. Simca juga yang mempelopori basis hot-hatch kedepannya, mulai dari ukuran hingga culture hot hatch dimana hot hatches harus merupakan versi kencang dari versi hatchback normalnya, dengan cara mendapatkan tuning di bagian kopling, suspensi sport, dan output tenaga yang lebih besar dari versi normalnya. Fun facts lainnya, Simca memiliki satu jenis cat spesial yang diberi nama "Sumatra Red". Jadi secara nggak langsung, Indonesia juga juga ikut andil dalam terciptanya segmen ini.. Hehehe...

And then came along the Golf GTI mk I. Hot hatches pertama yang secara struktural diciptakan untuk setara dengan sport car; mesin yang sangat di poles, konstruksi chassis dengan pressed steel yang ringan, dan akselerasi 0-100 dalam 9 detik. Pada masanya Golf GTI mk I lebih baik di tikungan dan tidak ketinggalan jauh di trek lurus melawan Ferrari 308 GTS yang 0-100 kpj-nya masih di kisaran 7 detik. Hal inilah yang kemudian membuat sosok Golf GTI selalu jadi benchmark segala hot-hatches yang setelahnya keluar, hingga saat ini.
Sejujurnya sebelum saya melakukan group review ini, saya sempat indepth Golf GTI mk I, dan Morris Mini, kebetulan mengantarkan mantan temen kampus saya yang masih hidup di era Beatles untuk cari mobil klasik, naik Vespa tua dia yang asap knalpotnya udah kayak fogging nyamuk kemana pun kita pergi. Disinilah saya pertama kali mencoba genesis segala hot-hatches dan hanya dijual senilai 150 juta Rupiah, dengan kondisi baik dan termasuk nilai sejarah yang dikandungnya.
Ada momen dimana saya terpana dengan dinamisme mobil ini.. Mesin 1800cc nya yang memiliki output tenaga 110 HP dan steeringnya yang baik membuat pangling sekali kalau mobil ini sudah berumur 36 tahun.. The engine is still punchy, the steering was honest, even the manual gearbox feels natural. Isn't that what we've been looking for so long in the modern hot hatches? They were simple, fun, and honest. Why do anything have to be so complicated today? Mesin induksi, paddle-shifters, and locking-diffs? Do we really need those things to make a hot hatch?
Happily, jawabannya adalah; Tidak. Karena Suzuki Swift Sport membuktikan tidak perlu mesin bertenaga besar untuk bisa menyamai kesenangan yang di tawarkan MINI Cooper JCW. So here goes the review:
EKSTERIOR

Nampaknya gak ada yang bisa saya bahas karena di mata saya it looks identical to ordinary Swift, yang membedakan hanya warna kuning mentereng di badannya. Sisanya sudah pernah dibahas oleh oom Madcat.

INTERIOR
Sudah pernah dibahas sama Madcat juga, hanya beberapa poin yang saya masukkan kedalam notes adalah: Ruang belakangnya terasa sangat sempit, dan bagasinya ternyata kecil sekali karena lantai dek nya tinggi.

Lalu untuk kualitas buatan, kalau menurut master yang lain kategorinya bagus, menurut saya Swift Sport medioker saja.

TEST DRIVE
Suzuki Swift Sport yang saya coba memiliki transmisi CVT dengan paddle-shift, mesin M16A 1600cc, 134 HP, dan 160 NM. Figur tenaga yang nyaris serupa dengan Ecoboost, tapi dengan teknologi jaman Radioshack. So this car is out of the league then? That was my first assumption, until I drove it.

Suzuki Swift Sport tidak dikembangkan dengan implan turbo-charger, electronic-diff, ataupun engine start-stop; somehow orang-orang brilliant di Suzuki justru memutuskan kalau mobil baru mereka ini butuh upgraded camshaft, suspension braces, upgraded bushings, upgraded steering rack, and a beefier transmission. Solusi klasik yang umurnya sama tua dengan umur mobil itu sendiri. Nyaris tidak ada produsen lain yang membuat solusi "ecek-ecek" ini menjadi solusi akhir lagi, tapi Suzuki bilang kalau hal-hal diatas sudah cukup untuk membuat a whole different car. And they were right.
The engine is one of the best small displacement NA engine I've ever felt, saat test akselerasi saya dapatkan kurva torsi yang merata keatas, dan ketika mencapai 5000 RPM, wuuuffff... It'll just run faster and faster and felt limitless.. Dipadu dengan suara intake analog-nya yang makin merdu saat di geber makin cepat.. Wow... How I've miss this feeling so much.. Feeling terakhir saya dapatkan seperti ini adalah saat menyetir Civic Type R 1st generation (EK9), and that is the highest praise I can give to Swift Sport's engine. It takes me back to the golden era of the infamous VTEC engine. Saya bahkan sampai lupa hitung 0-100.
Now let's talk about the handling. The steering rack by far is the best ever fitted to an Indonesian Suzuki, it is fast, accurate, and communicative. Damping tambahan yang diberikan ke suspensinya walau membuat Swift lebih keras, akan tetapi kualitas damping-nya sangat baik dan NVH yang dihasilkan dari suspensi sangat rendah. Bushing baru juga membuat camber dan toe angle untuk roda belakangnya lebih terkontrol dan memang lebih terasa di setir. Hasilnya? Jika Fiesta EcoBoost titik pivot-nya berada di dashboard, Suzuki Swift Sport terasa berada di driver. Ketika EcoBoost menikung dengan flamboyan, maka Swift Sport seperti anak panah; tajam, cepat, dan akurat. Body control nya jauh lebih baik dari Swift biasa, dan flexing chassis yang masih terasa tidak menakutkan, malah menambah fun.
This Swift isn't fast for modern standard, but it felt honest, and fun, and quirky, much like the original Golf GTI, really. Inilah alasan prolog untuk Swift Sport saya ceritakan mengenai Golf GTI. The Swift is NOT a modern hot-hatchback, but it is a vintage one, and that is what makes it one of the most desireable today.


Adapun kekurangan dari Swift Sport adalah di bagian transmisinya.. Mesinnya sangat responsive, tapi transmisi CVT-nya tidak bisa mengimbangi kebutuhan kecepatan penyaluran tenaga yang dibutuhkan, memakai mode manual pun ada terasa lag sepersekian detik yang lama-lama terasa mengganggu karena seakan ada barrier untuk dapat main-main secara maksimal dengan Swift Sport.

PROS:
1. Small size.
2. Sweet engine that feels like an old VTEC.
3. 5-stars of European NCAP and 6-airbags.
4. Probably one of the best handling for hatchback.
5. Simple, and honest -> These are the best of things.
CONS:
1. Not roomy.
2. Expensive.
3. Build quality is one step below Fiesta Ecoboost
4. The CVT is a bit slow.
5. Expensive.
6. Only 2 colours available.
7. Hmmm... Expensive?
Verdict :
The surprise keeps on coming and coming when driving this car. The engine is so sweet it'll give you diabetes, the steering is as fast as Muhammad Ali's hook, the damping has some sort of european feeling in it, and the intake noise is addictive.. Another surprises are that this thing has 5-star European NCAP and 6 airbags. The only problem is the price; at 320 million Rupiah this thing is 70 million more than the EcoBoost, and I don't think that is right, although this thing really brings back memories to the good old days where everything were simple and not complicated. I don't think that this car is worth the price tag. Or is it? I don't know, I can't make up my mind. But 1 thing for sure, buy the manual.
Price : 320 Million Rupiah
Stig's Score : 8 out of 10.
____________________________________________________________________________________________________________________
CLASS 400-600 : FIAT 500 LOUNGE 2014
Paling tricky diantara semua rentang kelas yang ada untuk menentukan siapa perwakilan terbaik dari rentang kelas ini, karena sejujurnya nyaris semua pesertanya sangat layak untuk dinobatkan jadi yang terbaik.


Dan ternyata, 3 hal diataslah yang merupakan permasalahan utama trisula Jerman yang masuk dalam pertimbangan. Why? Because they are too cynical, that is why. Jika seseorang mau beli MINI Cooper, mereka tidak akan pernah menemukan yang namanya MINI Cooper Urban

TSI baru juga suffer dengan keadaan yang sama; segmen pasar yang targetnya terlalu luas. VW is trying too hard to make the perfect car for everybody. Jadi orang akan memilih Golf karena mobilnya sensible, bukan karena mobilnya "fun" atau membanggakan untuk dimiliki.

Akhirnya kita sampai ke satu-satunya mobil yang nggak jatuh ke jebakan Batman di dunia otomotif modern; Fiat 500.
Fiat 500 Lounge merupakan remake dari Fiat 500 "Cinquecento" tahun 1957. Pertama kali keluar di tahun 2007, Fiat 500 langsung jadi IT-item pengganti MINI Cooper sebagai mobil mainan artis-artis Hollywood. Dan bicara masalah orisinalitas, new Fiat 500 tentunya sangat tidak orisinil, karena selain Fiat mengakui kalau mengikuti langkah MINI, basis mesin, gearbox, bahkan chassis-nya pun sharing dengan Fiat Panda. Jadi sudah meniru langkah orang (MINI dan Beetle) sehingga tidak orisinil, pun Fiat tidak jor-joran di bagian technical karena mengambil bagian-bagian dari mobil yang sudah ada, hanya mengganti casing-nya saja. So this is a bad car then? Well, no.
Berbeda dengan VW yang gagal menghidupkan Beetle, walau komponen drivetrain-nya berasal dari mobil lain, Fiat 500 dibuat dengan sangat Italia; desainnya harus sama persis dengan mobil Trepiuno (concept car 500 di Geneva 2004), sehingga segala bagian yang practical di cut oleh Fiat for the sake of beautiful design. Jika MINI melar hingga lebih dari 70 cm dari Morris Mini, maka Fiat 500 hanya melar 50 cm dari genesisnya, Fiat 500 tahun 1966, membuatnya menjadi city car retro-modern dengan ukuran paling kecil saat ini. Hasilnya?
EKSTERIOR
Personally, I think this car is the cutest car I've ever seen, and probably ever. Hal paling membuat saya salut adalah, dengan segala ide simpel Fiat untuk membuat replica Cinquecento, mereka berhasil membuat mobil yang jauh lebih praktikal, well made, comply dengan 5 bintang EURO NCAP, tapi hanya ngembang sebesar 50cm.. Haha.. Italians...


Proporsi bonnet-nya, pilar-pilar, dan bagian belakang mobil yang rata sama sekali tidak comply dengan desain modern yang lazim saat ini. Apalagi dengan desain yang terkesan sangat kecil, dari eksteriornya saja mobil ini sudah penuh dengan karakter.
Mobil yang akan saya coba berjenis Lounge yang mana merupakan varian standar yang paling tinggi jika di Eropa. Sedangkan di Indonesia, walaupun varian Lounge yang ada merupakan versi full-spec luar, akan tetapi bukan merupakan yang paling tinggi, karena masih ada versi Sport yang berbeda bumper dan velg, juga desain interior. Tapi, dan ini serius, kalau mau ambil Fiat 500 harus ambil yang Lounge, karena yang Sport justru terlihat trying too hard to be masculine, dan pada akhirnya malah kehilangan desain retro-nya.
Pada varian Lounge, yang menjadi ciri khasnya adalah bumper depan yang terkesan penuh dan membulat, dihias kumis chrome kecil dengan logo FIAT di tengahnya; mirip sekali dengan desain model jadul. Lalu terdapat juga velg bilah dengan dop bertuliskan 500 yang besar padahal hanya berukuran 16", antena radio jadul, dan panoramic roof kecil. Untuk versi lounge ini, tersedia 10 pilihan warna, dan yang saya coba IMO merupakan warna dengan nama yang paling keren: "Purple Aurora".. Dan mettalic cat nya pun begitu manis membuat ungu mobil ini terkesan mahal. Jika saya akan membeli Fiat 500, hanya 1 warna yang menurut saya paling layak untuk memaksimalkan retro-nya mobil ini, yaitu warna "Sky Blue", biru muda, soft, dan pastel (bukan metallic).
All in all, on par dengan desain MINI Cooper, dan terlihat sama spesial.
INTERIOR
Well, what can I say? Interiornya sama spesialnya dengan eksteriornya, retro, chic, fun, tasteful. Rasa yang sama seperti yang saya rasakan saat pertama kali masuk ke interior MINI Cooper modern, malah Fiat 500 terkesan jauh lebih fun.

Setir berlapis kulit dengan warna krem muda senada dengan tudung speedometer-nya, jok retro dengan warna dark brown dan putih dengan bordiran angka 500, dan headrest bulat. Dashboardnya terbuat dari plastik dove dan mengkilat, yang mengkilat warnanya sewarna cat eksterior dan kualitas plastiknya baik sekali. Panel AC dan tape berwarna krem muda juga, dihias dengan tombol-tombol membulat yang mana cenderung tidak ergonomis dan di akhir hari selesai indepth saya masih ga familer sama tombol-tombolnya.. Build quality? Superb.


Ruang belakang hanya ideal diduduki 2 orang, tapi legroom nya sangat manusiawi jika dibandingkan dengan MINI. Bagasinya sangat kecil dan bagian belakang kursi belakang yang merupakan besi hitam terkespos membuat penampilannya saat bagasi di buka jadi tidak atraktif.
TEST DRIVE
Mesin yang dipergunakan di Fiat 500 Lounge Indonesia adalah mesin MultiAir 1.4L. dipadu dengan transmisi otomatis Dualogic, yang mana merupakan penamaan aneh dari Twotronic semi otomatis. Fun facts; mesin TwinAir 1.4L ini sempat mendapatkan predikat Best New Engine tahun 2010. Uniknya mesin ini adalah, memiliki sistem OBD yang terintegrasi dengan masing-masing inlet silinder sehingga masing-masing silinder secara independen dapat mengontrol valve timing dan lift-nya, dan ini reaktif terhadap driving style pengguna mobil. Banyak inovasi lain juga dimasukkan ke dalam pengembangan mesin ini, yang mana buat saya sudah masuk ranah wizardly, yang jelas TwinAir ini sendiri untuk penyempurnaannya membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun di Fiat R&D.

Nah transmisinya sendiri tidak kalah unik dari mesinnya. Dualogic adalah transmisi dalam kelas Electrohydraulic manual transmission, yang secara simpel operasinya adalah dengan cara berjalan layaknya transmisi otomatis konvensional hanya perpindahan gigi dilakukan oleh driver layaknya transmisi manual, walaupun ada mode otomatisnya. Mesinnya memiliki tenaga yang tidak terlalu besar; 100HP dan 131NM, atau yaaahh.. Kira-kira setara lah dengan your average hatchback, mungkin sedikit lebih kencang karena bobot 500 yang lebih ringan.
Pertama kali masuk, terdapat aura hangat pada mobil ini, dan tidak butuh waktu lama untuk merasa bahwa mobil ini adalah mobil kecil yang spesial. Tempat duduknya flat, tidak supportive, dan headrest-nya nyaris nggak ada guna. Posisi duduknya cenderung tinggi, tegak, dan posisi setir secara natural dekat dengan dada. Visibilitas sangat baik. Saya coba nyalakan mesin, getaran mesin halus, dan langsung saya bawa keliling.

First thing to notice; suspensinya. Lahir di pedalaman Italia, suspensinya terasa sekali di setting untuk berjalan di atas paving block. Saat lewat daerah perumahan yang paving block, di kecepatan 40-60 kpj, terasa sekali setir stabil, dan tidak goyang sama sekali, body control sangat baik dan cenderung nyaman. Akan tetapi jika melewati polisi tidur tinggi suspensi jadi gradak-gruduk kehilangan balance-nya, inilah ciri-ciri suspensi city car Italia, travel suspensinya tidak bisa ngayun terlalu jauh. Untuk di pakai di jalanan dengan aspal normal, suspensinya cukup nyaman cenderung keras, akan tetapi noise yang dihasilkan oleh suspensi dan roda-rodanya cukup besar.

Kedua, transmisinya. Dualogic, yang sejenis dengan Twotronic Peugeot, Smart, dan A class otomatik jaman dulu, bukanlah transmisi yang halus. Di kecepatan berapa pun, dalam kondisi apapun, jika terjadi perpindahan gigi pasti ndut-ndutan. Memang pada awalnya akan terasa mengesalkan, akan tetapi jika kita pindah ke mode manual sequential, maka tipe transmisi seperti ini sangat bisa untuk dipaksa main kasar dan memberikan sensasi sport. Dualogic juga jika diposisikan dalam mode N, itu berarti parking brake eletroniknya aktif, jadi setiap lampu merah, gas harus ditekan agak dalam agar electronic handbrake nya off dan walhasil mobil dipastikan mencelat. Not nice.
Oke, untuk lebih serius, saya bawa mobil ke kawasan yang lebih terisolasi, dan coba dinamisme mobil ini. Dari kondisi diam, saya pacu mobil kencang. Start lamban, dan shifting saya lakukan secara manual, dan dibanding mobil lain yang saya coba di Liga ini, 500 terasa paling lamban. Feeling ini terbukti dengan 0-100 yang saya dapatkan di kisaran 12 detik. Tapi, dibanding yang lain, suara mesin dan exhaust 500 yang senyap-senyap garing terasa mengasyikkan di telinga.. Entah gimana mesin 4 silinder cupu bisa jadi merdu... Dasar... Italians..

Selanjutnya test handling. 500 menggunakan EPAS yang membuatnya nyaris tidak ada feedback, akan tetapi anehnya, lokasi roda bisa dengan mudah di prediksi di mobil ini. Setirnya terasa artificial, dan tidak akurat, lock to lock juga terlalu besar, dan kurang responsive. Setelah terasa jengkel dengan mode normalnya, saya aktifkan mode Sport nya dengan pengharapan besar, karena ini mobil Italia, bisa saja mereka menanamkan mesin jet yang hanya akan aktif di mode Sport.

Dan ternyata benar. Mobil ini adalah mobil yang perubahan karakternya paling dramatis dari mode normal ke sport sepanjang sejarah saya pernah coba bermacam-macam mobil. Malahan terasa seperti mengendarai mobil yang benar-benar berbeda. Suspensi dari nyaman menjadi bouncy di bagian depannya, perpindahan gigi dalam mode manual semakin instant dan torsi langsung naik, dan yang paling dramatis; setir menjadi sangat berat seakan tidak memiliki power steering. Wow. Kombinasi yang sangat menyenangkan bukan? Well, sayangnya sekali lagi, dalam mode Sport pun mobil ini mengecewakan.

Pertama, mesinnya yang lemah tetap tidak berubah dalam mode Sport. RPM naik lebih cepat, tapi lebih cepat pula kehilangan tenaganya. Suara gearbox jika dipaksa dipacu agak extreme juga agak berbunyi.

Kedua, suspensi yang menjadi bouncy justru mengurangi drivability mobil ini. Moncong depan semakin tidak terprediksi. Lalu untuk bagian belakang, mobil ini terasa hilang dan pada manuver kecepatan tinggi, body roll mobil ini besar walaupun suspensinya sudah termasuk keras. Grip yang tersedia pun biasa saja, kinerja ban sangat bagus, tapi mungkin karena wheelbase pendek yang membuat mobil ini tidak bisa diajak terlalu sportif.
Ketiga, dan ini yang paling mengganggu, setirnya yang menjadi berat. Dengan hilangnya assist dari power steering, diharapkan agar feel roda lebih terasa setir lebih akurat, dan mobil terasa lebih menyenangkan untuk dikendarai. Sayangnya tidak. 500 adalah mobil dengan setir paling tidak konsisten yang pernah saya kendarai, dan seakan akan roda depan bisa terubah camber-nya tergantung permukaan jalan. Hasilnya adalah, jika pada suatu saat setir saya belokkan 30 derajat, kadang mobil berputar 30 derajat, kadang bisa 50 derajat, malah kadang cuma 10 derajat. Dan ini terus terjadi sepanjang waktu. Setelah itu dengan beratnya setir, roda terasa semakin hilang, sehingga yang didapat hanya beratnya setir saja. Ketidak-konsistenan ini berlanjut karena pada satu titik tiba-tiba setir bisa menjadi ringan dengan sendirinya saat berada di ujung tikungan, sehingga sudut belokan bertambah diluar perkiraan. Hasilnya adalah, saat melakukan manuver, koreksi setir yang di butuhkan adalah 100% dalam 100% pengendaraannya. Sangat melelahkan, dan sama sekali tidak terasa fun. Malah terasa seperti mobil yang drivetrain-nya di tuning secara seadanya. Damn. What a shame.



PROS:
1. The cutest car, ever.
2. Small outside, roomy inside.
3. Easy to drive in-city.
4. Somehow the suspension works well in Indonesian road.
5. Build quality is superb. Second best after 208 GTi
CONS:
1. All aspects in Sport mode.
Verdict:
It probably is fun to have, but it is an uber-chicks car. Dynamically inconsistent, lack of oomph, even the seats are not supportive. Yes, this car is cute, but that is it, not more than that. Hated it. Oh, yes, it is also pricey. I don't think it is worthed.
Price : 480 Million Rupiah
Rivals : Merc A200, BMW 116i, VW TSI Mk. 7
Stig's Score : 4 out of 10.
-TO BE CONTINUED-