yunan wrote:imsus2c wrote:^^^
yg jadi paradox, saat krisis gini, justru diluar negeri, banyak produsen menurunkan harga mobilnya (diskon) gila-gilaan supaya bisa terserap pasar
beberapa temen sy di luar (eropa) cerita, beberapa vendor sampe harus menyewa gudang extra, karena pengiriman dari pabrik jalan terus sedangkan penjualan seret....
dengan diskon gila2an (sampe kadang 30%-40%), penyerapan pasar tetap seret
di negara kita, harga naik gila2an, yg inden pun juga masih banyak
brarti, kalo gampangnya ngomong, nasib otomotif di negara kita masih bisa sedikit bernafas....
di sini emang beda dgn negara maju bro, sarana angkutan umum tidak kondusif dan tidak aman. so begitu punya penghasilan lgs di simpan buat beli kendaraan; pilihan nya cuman 2 yaitu mobil or motor krn bersepeda jg tidak mungkin
IMO:
Kenapa di saat krisis gini pedagang mobil luar negeri bisa kasi diskon gila2an, tapi disini malah harga mobil pada naik?
Karena kalo pada saat krisis gini, para penjual mobil di LN hanya memikirkan gimana supaya sales gak "macet" pada saat pendapatan konsumen menurun drastis? Ya yg paling gampang adalah cut harga/rebate (selama penjual masih untung walau sedikit, yg penting supply gak numpuk di gudang).
Kalo pedagang mobil disini lebih kompleks karena ada 1 faktor utama lagi yg harus dipikirkan yaitu faktor Nilai Tukar. Sebenernya mungkin pedagang sini jg mau kasi diskon tapi apa daya faktor nilai tukar membuat mereka harus menaikkan harga jualnya.
Misalnya ambil contoh bbrp bulan lalu nilai tukar Rp melemah dari 9000 ke 12000 (melemah 33%) thd USD, maka artinya sebelum jualan mobil aja, modal pedagang2 mobil udah naik sebesar 33% kalo masih mao jual mobil di sini.
Faktor ini (nilai tukar) tidak begitu menjadi masalah di negara2 maju yg mata uangnya cenderung stabil (apalagi yg mata uangnya dipake sebagai mata uang utama perdagangan dunia spt USD/EUR). Karena apapun yg terjadi 1USD = 1USD atau 1EUR=1EUR, sedangkan kalo Rupiah karena bukan "Vehicle Curr" alias gak laku sebagai mata uang dalam berdagang internasional (karena negara2 yg berdagang tsb ogah pegang rupiah), nilainya harus di patok ke USD/EUR kalo mao dipake berdagang dan jeleknya "patokan" tsb berubah2 sesuai dengan kondisi perekonomian saat itu.
Kalo kita liat history, maka kebanyakan harga2 mobil disini melambung tinggi karena faktor nilai tukar, bukan karena naikknya harga cost mobil oleh produsennya. Artinya, walaupun kita bayar mobil jauh lebih mahal (karena harga naik), tapi keuntungan produsen mobil sebenernya sama aja dengan sebelum harga dinaikkan karena hasil keuntungan pasti diconvert ke USD/EUR. Jadi kalo kita mao fair, sebenernya orang yg paling bertanggung jawab thd naikknya harga mobil adalah pemerintah kita yg gak bisa menstabilkan rupiah, bukan produsen/pedagang mobil.
Contoh:
1. Harga Honda Accord LX 4 Door di USA di tahun 1994 (15 thn yl): $17,400
Harga Honda Accord LX 4 Door di USA di tahun 2009: $20,905
Price appreciation: 20.14% selama 15 tahun.
2. Harga Honda Accord 4 door di Indonesia di tahun 1994 (15 thn yl): Tarolah 90 jt
Harga Honda Accord 4 door (VTI-MT) di Indonesia di tahun 2009: Tarolah 418 jt
Price appreciation: 364.44% selama 15 tahun.
Nah kalo diliat perbedaan diatas, maka ketauan bahwa "kesalahan" produsen mobil dalam naikkin harga sebenernya cuma 20.14%, sedangkan "kesalahan" pemerintah karena gak bisa menstabilkan Rp adalah sebesar (364.44-20.14) = 344.3%.
Juga kalo mao dibandingkan dengan depresiasi Rp thd USD dari tahun 1994 sampai sekarang (2009). Tarolah di tahun 2004 nilai tukar rupiah = 2500/USD dan sekarang di tahun 2009, nilai tukar Rupiah sekitar 11500/USD, maka depresiasi Rp thd USD over 15 tahun adalah (9000/2500) x 100% = "360%"....angka yg hampir sama yg direfleksikan oleh naikknya harga barang (accord)
Hal kedua yg dipertanyakan oleh postingan bro Imsus adalah kenapa di LN, udah diobral masih seret penjualan, sedangkan disini harga naik aja, pembeli masih inden?
1. Mungkin karena saat ini Indonesia gak gitu terimbas krisis separah negara2 di eropa, orang2/perusahaan2 indo gak terlalu banyak investasi di Wall Street seperti perush2 eropa/amerika. Disini masih orientasi industri2 barang jadi
2. Orang2 mungkin masih merasa secure dengan pekerjaannya jadi rencana beli mobil jalan terus, beda dengan orang2 di US/Eropa yg selalu was2 atau gak tau apakah masih bisa kerja minggu depan jika performa perush turun terus.
3. Orang2 LN menggantungkan hampir seluruh pembelian mobilnya dengan cara kredit. Pas lagi kredit crunch gini, susah dapet kredit buat beli mobil, kebalikan dengan di sini yg masih banyak bayar cash
4. Orang2 sono banyakan suka gonta ganti mobil sebelum mobilnya bener2 rusak, nah pada saat krisis, mungkin mereka pikir mobilnya yg sekarang masih kuat dipake bbrp tahun lagi, jadi usia kepemilikan mobil agak lebih dipanjangin sekarang.
5. Faktor psikologis di Indo.....orang2 pada beli mobil karena harga terus menerus naik.
6. dll....