Izinkan saya menulis topik yang antimainstream ini. Jika saat ini yang lagi hit adalah All New Rushter, maka dengan sedikit membesarkan hati, saya mencoba mereview Terios lama -tipe TX M/T- yang saya pakai dari baru sampai dengan sekarang, sebagai mobil tempur. Mudah-mudahan tetap ada manfaatnya, khususnya bagi yang merasa bimbang meminang ANT, bisa bertambah wacananya setelah membaca review ini. Aminn...
Tentu saja saya tidak akan menulis impresi awal mobil ini secara utuh, karena sudah banyak bertebaran di internet.
Persepsi khalayak tentang mobil ini adalah : bantingan keras, limbung, dan tenaga boyo, selain dari penampilannya yang maskulin dan eye catching (pada saat itu).
Dan itu benar
![Big Smile :big_smile]](./images/smilies/big_smile.gif)
Dan... rasanya baru kemarin. Menikmati mobil baru yang masih bau toko.
Setelah menempuh hidup di jalan berdua dengan mobil ini, tidak terasa sudah masuk tahun ke-7 dan lebih dari 150.000 km roda mobil ini menggelinding. Secara matematis memang sudah perlu diremajakan. Tapi secara subjektif rasanya masih berat mengingat ini mobil sangat bandel, tidak pernah meminta macam-macam.
Pemilihan Pembelian Mobil
Waktu itu saingannya adalah GL, Grand Avega, Fiesta, dan All New Rio, dan ada pilihan rental juga. Dan sebagai orang timur yang wajib basa-basi dengan meminta pertimbangan sana-sini, akhirnya terpilihlah Terios TX M/T.
Alasan pemilihan ini adalah :
1. Pemakaian lukot-dalkot 70-30
2. Jalur jalan lumayan ekstrim
3. 7 seater

4. Ganteng
5. Merk mainstream
6. Terkesan lebih tangguh dibanding kandidat lainnya
Yang memberatkan untuk memilih mobil ini :
1. Ndut-ndutan
2. Ndut-ndutan
3. Ndut-ndutan
Bagaimana dengan fitur?
Pada saat itu hampir tidak ada pertimbangan sama sekali terhadap fitur yang ada, karena fokusnya memang sebagai mobil tempur. Semakin minim fitur maka semakin minim perawatan. Begitu kira-kira logika saya.
Yang membedakan mobil ini dengan mobil tahun 90an adalah Terios ini sudah punya sensor parkir. Sudah itu saja

Impresi
Seperti yang sudah menjadi rahasia umum, impresi berkendaranya seperti itu. Terkesan tinggi, limbung, bantingan keras, tenaga yang kurang responsif di RPM rendah, ndut-ndutan atau tersendat-sendat di RPM rendah, ruang baris ke-2 dan ke-3 yang kurang ergonomis, dan blind spot di pilar A yang cukup besar.
Hampir tidak ada positifnya.
Eh ada satu : posisi mengemudi langsung pas dengan postur saya. Padahal belum ada tilt-telescopic dan setelan naik-turun jok.
Beberapa catatan yang tersimpan di memori saya :
1. Odometer menunjukkan angka 3 km. Mudah-mudahan ini benar fresh dari pabrik, bukan karena dimatikan.
2. Mogok pas mampir di SPBU sebelah dealer.
Pada waktu mengambil mobil ini di dealer, saya "diwajibkan" mampir di SPBU sebelah untuk mengisi BBM premium dengan voucher 20 liter. Wajib katanya. Padahal waktu itu sudah sore mendung mau hujan. Akhirnya dengan agak terpaksa saya mampir ke SPBU sebelah dan... pas masuk gerbang SPBU mobil ndut-ndutan parah sampai akhirnya mogok tepat di stasiun pompanya

3. Detonasi/ngelitik.
Pada awal pemakaiannya, gejala detonasi/ngelitik itu sangat parah. Bahkan di kecepatan yang konstan, RPM sedang, tau-tau terdengar suara ngelitik. BBM sudah coba saya ganti antara premium dan pertamax (waktu itu belum ada pertalite). Namun hasilnya sama saja. Oleh karenanya saya memilih premium pada waktu itu. Toh sama-sama ngelitiknya. Hehe..
Gejala ngelitik ini mulai hilang ketika odometer memasuki kilometer 40 ribuan. Saya mulai merasakan impresi yang berbeda dengan mobil ini.
4. Tenaga boyo.
Dulu, saya rutin melewati rute Kaliabu-Kepil. Teman-teman yang berasal dari Magelang atau Wonosobo pasti tahu rute ini. Jalannya naik turun bukit. Kondisi aspalnya hanya bagus pada saat lebaran saja. Pada puncak musim parahnya, di rute sepanjang 18 km itu bisa ada 8 lokasi pak ogah yang ngatur-ngatur giliran jalan karena aspal berlobang parah. Tapi sejak lebaran tahun 2016 sampai sekarang saya dengar jalurnya sudah selalu mulus. Pas saya sudah tidak lewat sana, pas jalannya bagus terus.
Nah, kalau dari wonosobo ke magelang ada 2 tanjakan yang cukup curang. Seringkali truk tidak kuat naik di sini kalau ancang-ancangnya kurang bagus.
Kebetulan saya sering juga pakai Avanza G gen1 dan Kuda GLS diesel waktu itu. Jadi tenaga Terios ini hanya bisa saya bandingkan dengan kedua mobil yang pernah saya pakai di jalur sama.
Dengan cara bawa yang sama, ancang-ancang yang sama, cara menggantung RPM yang sama pula.
Jika pakai Avanza, melewati tanjakan itu jarang masuk gigi 1.
Pakai Kuda, tidak pernah masuk gigi 1.
Pakai Terios, hampir tidak pernah gigi 2.
Hehe...
5. Rem tidak pakem
Setelah melewati jarak 10 ribu km, muncul getaran di seluruh bodi mobil saat melakukan pengereman, dan getaran ini makin parah sampai tidak bisa menghentikan mobil secara layak, baik jarak pengereman maupun kenyamanan proses berhentinya mobil. Saya konsultasikan ke bengkel resmi. Solusinya adalah cakram rem dihaluskan (saya lupa istilahnya).
Usia kampas rem hanya bertahan 30 ribu km. Kata bengkelnya tergantung jalur yang ditempuh. Yang matic bisa 20 ribu sudah harus ganti, katanya.

Setelah ganti kampas rem, untuk 10 ribu km pertama tidak ada tanda-tanda pergetaran rem. Masuk kilometer 40 ribu, getaran sudah muncul lagi.
Pada saat ada teman nebeng dan merasakan getaran rem ini, saya jawab itu impresi ABS sedang bekerja

Akhirnya di kilometer 60 ribu kampas rem diganti lagi.
Menurut SA-nya, cakram rem juga harus diganti karena sudah 3 kali dilakukan penghalusan sebelumnya, sehingga ketebalannya sudah minimal.
Saya orang yang tidak terlalu rumit untuk urusan service mobil. SA bilang ganti, saya iyakan.
Ya, meskipun harganya 1,2juta (kalau gak salah ingat).
Etapi ternyata ada surprise dari SA-nya bahwa cakram rem saya gratis. Karena bisa diklaimkan garansinya. Padahal saya gak minta karena mobil sudah jalan lebih dari 50 ribu km dan sepengetahuan saya itu melewati batas garansi


Dan sejak penggantian cakram ini, gejala getaran langsung hilang. Bahkan penggantian terakhir kampas rem di kilometer 100 ribu. Artinya jika jadwal service ke depan saya ganti, usia kampas rem menjadi 2 kali lipat dibanding sebelumnya, dari 30 ribu menjadi 60 ribu km.
6. Setir aneh.
Sejak awal setir terasa aneh dan bikin capek. Rasanya seperti kalau kita melepas baut pakai kunci pas. Awal memutarnya berat kemudian dilanjut ringan. Kira-kira seperti itulah. Tangan saya pasti kesemutan setelah memakai jarak jauh. Padahal tiap servis sudah spooring balance rutin.
Setir mulai normal ketika lewat kilometer 30 ribu.
7. Ndut-ndutan
Auk ahh...

Konsumsi BBM
Saya sengaja meminta dan menyimpan nota BBM. Sampai hampir 50ribu km saya simpan notanya di laci dashboard. Saya tulisi posisi odometer saat pengisian meskipun sebagian terlewatkan karena kadang bolpoin tidak ketemu.
Namun di sini saya tampilkan catatan rekap manual nota-nota tsb sampai dengan 10 ribu km saja karena tidak terlalu ada perubahan konsumsi per liternya sampai dengan jarak tempuh 50 ribu km. (rekapnya sih sudah dulu pas saya masih ada blog)
Berikut histori konsumsi BBM premium :
Catatan :
- warna kuning adalah pada saat diisi full
- ada beberapa nota yg tidak tercatat odometernya
- rute dalkot : lukot = 30:70
- 99,9% nginjek sendiri, kaki sekolah kejar paket B
Jadi secara akumulasi sampai dengan 10 ribu km konsumsi BBM mobil ini sebesar 12,26 km/l.
Bagus, mengingat di beberapa test drive media besar hasilnya sekitar 10 koma.
Sekarang saya tidak pernah melakukan tes full to full lagi. Secara rutin saya mengisi Rp 150 ribu pertalite untuk jarak tempuh rutin 230-250 km (sudah pp). Waktu muncul pertalite awal sih masih ada sisa untuk kelilingan main, tongkrong yang agak jauh. Tapi untuk harga terakhir Rp 7600 sudah pres harus ngisi lagi kalau mau dipakai di luar rute rutin itu.
Saya bandingkan antara premium, pertamax, dan menyusul pertalite, hasilnya tidak terlalu signifikan.
Justru di antara ketiga jenis oktan itu, premiumlah yang bisa membuat mobil ini halus tarikannya.
Pertamax membuat ndut-ndutannya tambah galak.
Sedangkan pertalite ada di tengah2nya.
Dan akhirnya dari kilometer 100 ribu saya pakai pertalite sampai dengan sekarang. Karena males antri premium.
Servis
Saya orang yang tidak terlalu rumit untuk urusan service. Apa kata SA, saya iyakan. Padahal sih sebetulnya saya tidak terlalu tahu seluk beluk mobil
![Yes / No [emo-yesno]](./images/smilies/2017-yesno.gif)
Saya hanya nitip pesan jika mobil ini sampai harus masuk bengkel tidak di jadwal servisnya, maka u and me end

Berikut histori servis rutin mobil ini :
Waktu; Periode servis (odometer); Biaya
10.000 km
Maret 2012 Rp 574.000
20.000 km
Juli 2012 Rp 1.157.000
30.000 km
Desember 2012 Rp 1.247.000
- termasuk penggantian pad kit disck brake Rp 414.000
40.000 km
Mei 2013 Rp 1.295.000
50.000 km
Oktober 2013 Rp 1.848.000
- termasuk servis AC Rp 769.000
60.000 km
Maret 2014 Rp 1.937.000
- termasuk penggantian pad kit, disc brake Rp 414.000
- penggantian disc brake Rp 0 (garansi)
70.000 km
September 2014 Rp 1.016.000
80.000 km
Maret 2015 Rp 2.450.000
- termasuk servis AC Rp 243.000
90.000 km
September 2015 Rp 2.169.000
- termasuk servis AC Rp 828.000 (karena bau)
100.000 km
Februari 2016 Rp 2.936.000
- termasuk penggantian pad kit, disc brake Rp 443.000
- bohlam lampu senja Rp 3.900
- salon engine 185.000
- salon kaca 190.000
- karet wiper kiri Rp 49.000
- karet wiper kanan Rp 59.000
106.000 km
Juni 2016 Rp 1.328.000
- service khusus penggantian kopling set. Ternyata setelah dibongkar kondisinya masih layak dan yg lemah adalah pegasnya. Yang membuat proses ganti gigi menjadi seperti menyentak adalah pegas yang sudah lemah (atau malah keras?). SA menanyakan apakah akan dipasang kembali atau diganti baru sekalian. Saya milih diganti sekalian saja karena tanggung sudah mbongkar.
110.000 km
Juli 2016 Rp 1.331.000
120.000 km
Desember 2016 Rp 1.609.000
- termasuk penggantian bohlam foglamp Rp 134.000
- bohlam tancap Rp 5.000
130.000 km
Mei 2017 Rp 2.088.000
- termasuk servis AC Rp 492.000
- bulb Rp 165.000
140.000 km
Oktober 2017 Rp 1.982.000
150.000 km
Februari 2018 Rp 2.242.000
- termasuk servis AC RP 492.000
Total biaya servis Rp 27.209.000 termasuk di dalamnya penggantian material aus/rusak
Penggantian material aus/rusak
- bohlam lampu senja 1 kali
- bohlam foglamp 3 kali
- karet wiper 1 kali
- kopling set 1 kali
- kampas rem 3 kali
- cakram rem 1 kali
Penggantian material aus/rusak di luar beres :
- aki standar 2 kali. Bulan Mei 2014 dan bulan November 2017.
- ban 1 kali di kilometer 130.000
Ternyata sudah panjang ya tulisannya...
Saya cut sampai di sini dulu, langsung kesimpulan aja...
Eh.. mhn maaf mau itung-itungan duit dulu...
Pengeluaran Total
Saya ingin menghitung berapa rata-rata pengeluaran per bulan saya dengan tipikal penggunaan mobil seperti ini.
Total pengeluaran = biaya servis total + biaya di luar beres + biaya BBM + biaya cuci + pajak + body repair
Total pengeluaran = 27.209.000 + (3.200.000 + 500.000 + 500.000) + 92.985.000 + 4.500.000 + (5*2.000.000) + 2.000.000
Total pengeluaran = Rp 140.894.000,- selama 75 bulan
Rata-rata pengeluaran per bulan = Rp 1.879.000,-
Weelhaa... ternyata banyak juga ya...



Dengan catatan :
- asumsi BBM pertalite harga Rp 7.600 (harga sekarang)
- harga ban dan aki adalah pembulatan taksiran karena lupa tepatnya berapa
- cuci mobil senilai tarif salon mobil Rp 750.000 1 kali dalam 1 tahun
- body repair pembulatan dari yg pernah dilakukan
Nah sekarang coba bandingkan jika saya dulu memilih untuk rental mobil.
Otomatis pengeluaran hanya untuk sewa mobil + BBM + cuci mobil
Total pengeluaran rental = (3.000.000 x 75) + 92.985.000 + 4.500.000
Total pengeluaran rental = 322.485.000,-
dibandingkan
Total pengeluaran milik sendiri = 140.894.000 + harga beli mobil - harga jual
Total pengeluaran milik sendiri = 140.894.000 + 182.000.000 - 100.000.000
Total pengeluaran milik sendiri = Rp 222.894.000
jika harga jual dianggap nol, maka
Total pengeluaran milik sendiri = Rp 322.894.000,-
Dibandingkan dengan rental, secara rupiah memang masih lebih menguntungkan memiliki mobil sendiri.
Tapi jika nilai ekonomis mobil diasumsikan habis sampai tahun ke-7 maka nilai rental dengan membeli mobil adalah relatif sama.
Dan sepertinya setelah menulis ini, saya akan mempertimbangkan angkutan umum

Note : mhn maaf kalau ada silap di perhitungan angka-angkanya. Makin malam makin berat matanya ini.
Kesimpulan
1. Jika anda mencari mobil seken untuk tempur yang lebih sering dikendarai sendiri, saya sangat menyarankan membeli sekenan mobil ini. Dengan hadirnya ANT besar kemungkinan harga sekennya menurun lagi.
2. Mobil ini seperti terlahir kembali ketika sudah berjalan masuk 50 ribu kilometer. Setirnya enak, detonasi minim, tarikan ringan, srunthulan juga oke. Entah ini karena sudah semakin terbiasa dengan mobil ini atau memang butuh waktu reyen lama buat mobil ini supaya nyaman dikendarai. Jikalau masa reyennya memang lama, saya bersedia mereyenkan ANT temen2 sampai kilometer 50 ribu

3. Free maintenance seumur hidup untuk fitur-fitur canggih seperti ABS EBD VSC HSA Airbag dll dll


4. Jika bisa mengendarai mobil ini secara nyaman tidak tersendat-sendat di kecepatan rendah, dijamin mengendarai mobil lain akan langsung lulus menjadi lebih nyaman
5. Posisi mengemudi yang jauh dari kata nyaman menjamin kita selalu siaga dan itu berarti potensi bencana menjadi minim
6. Apakah saya akan ganti ANT? Sayang sekali ANT tidak ada improve keergonomian ruang baris kedua dan ketiga, padahal menurut saya itu mandatori.
7. Rattle? Kalau jalan mulus masih senyap kok. Tapi kalau ketemu speedtrap laksana kapal terhantam exocet

8. Apakah saya puas? Yes... mobil ini bisa mengikuti ritme kerja saya, mengantar ke mana-mana tanpa pernah mengeluh masuk opname di luar jadwal servisnya.

Terimakasih sudah membaca

