Realita penanganan corona di indonesia :
Sebagai seorang perawat, Novita harus berhadapan dengan beragam pasien, yang salah satu di antaranya bisa saja mengidap virus corona yang belum terdeteksi. Apalagi Novita bertugas di lini terdepan layanan kesehatan masyarakat.
Dinas Kesehatan Kota Bandung lalu mengirim stok tambahan. Namun masker yang dikirim bukan masker N95, melainkan masker bedah yang memang biasa dipakai saat tugas.
Juru bicara pemerintah untuk pandemi Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan bahwa petugas puskesmas tidak membutuhkan APD.
"Apakah petugas Puskesmas harus pakai APD? Ada SOP penerima pasien itu harus menggunakan masker N-95 dan sarung tangan. Apa semua harus pakai APD, kan ada grade-nya siapa yang menggunakan APD, siapa yang tidak," kata Yurianto.
Ketika ditanya bagaimana dengan staf Puskesmas yang tidak memiliki uang, ia mengatakan:
"Minta ke Dinas Kesehatan, Dinas Kesehatan sudah punya [uang]. Distribusi pusat itu mengalirnya menuju Dinas Kesehatan provinsi, Dinkes provinsi punya tanggung jawab mengalirkan pada end-user, pada wilayah mereka, apakah semua harus pusat? Katanya sudah desentralisasi dan pembangunan kesehatan adalah salah satu yang di-desentralisasikan, apakah pusat semua yang harus menangani?"
Jadi petugas puskesmas ga usah pake APD toh. Di negara lain, lini terdepan justru dibekali APD.
Jubir gugus tugas aja sdh lempar tanggung jawab dgn mengatakan,
"katanya sudah desentralisasi."
Ervan Surya, seorang dokter obstetri dan ginekologi di RSUP Persahabatan, salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 nasional, mengatakan bahwa ia dan rekan-rekannya mendapatkan APD dari donasi guru-guru dan pihak-pihak lainnya.
"Bahkan kami yang berada di RS Persahabatan pun, [yang] katanya pusat respirasi nasional, mendapatkan APD dari usaha mandiri guru-guru kami dan dari charity pihak-pihak tertentu. Bahkan masker pun kami usahakan sendiri," kata Ervan.
"Sekiranya Bapak [Jokowi] dapat memberikan kami minimal alat pelindung keselamatan agar kami dapat berjuang bersamamu demi negara yang kita cintai ini," tambahnya.
Menurut catatan IDI per Jumat (27/03), sudah ada 10 dokter dan dua perawat yang meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona di Indonesia.
Sementara itu Faisal Yunus, seorang dokter paru di RS Persahabatan, mengatakan bahwa rumah sakit itu hanya memiliki empat ventilator, meski saat ini merawat kurang lebih 40 pasien Covid-19.
"Di [RS] Persahabatan saja kita merawat 40 orang, tapi ventilator cuma 4, tidak cukup.
Itu rumah sakit rujukan untuk Covid-19 gak cukup, apalagi yang lain," katanya.
"Di Wisma Atlet belum ada ventilator, makanya belum terima pasien [Covid-19] yang berat."
Di wisma atlet
belum ada ventilator.
BBC Visual Journalism menganalisis enam indikator infrastruktur dan sumber daya manusia pada sistem kesehatan di Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, China, dan Singapura.
Keenam indikator meliputi jumlah kasur, jumlah kasur darurat (ICU), jumlah dokter, jumlah perawat, deteksi dini, dan pengeluaran kesehatan per kapita.
Dari enam indikator, Indonesia menunjukkan ketidaksiapan dalam penanganan Covid-19.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, atau WHO, Indonesia hanya memiliki satu tempat tidur rumah sakit untuk setiap 1.000 orang, terendah di Asia Tenggara.
Indonesia hanya memiliki empat dokter untuk setiap 10.000 orang, menurut data WHO tahun 2017.
Sementara Italia memiliki jumlah dokter sepuluh kali lipat lebih banyak dan Korea Selatan memiliki jumlah dokter enam kali lebih banyak, untuk per kapitanya.
Di Papua, misalnya, dari 202 ruangan isolasi, hanya dua yang dinilai memenuhi standar WHO, demikian menurut Silwanus Sumule, juru bicara satgas Covid-19 di Papua.
Oleh karenanya, pemerintah provinsi Papua juga telah mengarantina wilayahnya dengan menutup akses keluar masuk dari pelabuhan, bandara, maupun jalan darat sampai 8 April 2020.
"Kami melakukan sejumlah analisis, ketika kita bicara infrastruktur kesehatan kita. data-data kita jelas menunjukkan bahwa kita tidak siap menghadapi wabah pandemi ini," kata Silwanus.
"Kasus yang kita punya adalah kasus impor. Kita hanya membatasi pergerakan manusia.
Ketika mereka datang, yang kita tidak tahu status sakit mereka bagaimana, dan mereka datang dari daerah terinfeksi, lalu ketika di Papua menunjukkan gejala-gejala Covid-19, kami harus bagaimana? Untuk mengurusi warga kami saja kami mengalami kesulitan," tambahnya.
Ia mengatakan bahwa tempat tidur rumah sakit di seluruh Papua sudah 70 persen terisi.
Papua yg sangat minim fasilitas kesehatan, gubernurnya cepat cepat karantina wilayah. Eh malah ditegur mendagri
Sampai Minggu (29/03), Indonesia menguji 6.500 spesimen atau 2.5 tes untuk setiap 100.000 orang, jauh lebih rendah jika dibanding negara tetangga seperti Malaysia, yang melakukan 120 tes untuk setiap 100.000 orang.
Di Korea Selatan, yang melakukan tes Covid-19 secara agresif dan mampu memperlambat penyebaran virus tersebut, sedikitnya 772 tes dilakukan untuk setiap 100.000 orang.
Pemerintah Indonesia telah membeli satu juta peralatan rapid test virus corona, dan beberapa pemerintah daerah, seperti Jawa Barat, telah melakukan tes masif dengan skema drive through untuk orang-orang yang dinilai rentan, seperti tenaga medis.
Namun, rapid test itu ternyata tidak mudah ditemukan.
"Pemerintah mendatangkan 1 juta [rapid test kit] dan katanya sudah datang, di Jakarta [sudah ada] 150.000 [rapid test kit], namun kenyataannya untuk mencari rapid test itu tidak mudah.
Saya sudah cari kemarin itu sulit sekali," kata Zubairi Djoerban, ketua Satgas Covid-19 di Ikatan Dokter Indonesia.
"Saya harapkan di hari-hari ke depan sudah lebih mudah dan bisa dikerjakan di mana saja."
Bagaimana dengan kondisi mental tenaga medis di indonesia yg menghadapi DUA MASALAH BESAR : corona dan fasilitas yg sama sekali tidak memadai ? Mereka sudah pasrah :
Sampai Indonesia sanggup melakukan tes Covid-19 yang sama agresifnya seperti Korea Selatan, tenaga medis di Indonesia 'hanya dapat berdoa' agar pasien yang ditanganinya tidak menderita Covid-19 dan agar dirinya tidak tertular.
"Kita mau bilang apa, kita saling mendoakan saja, saling memberikan semangat. Kita dokter paru itu sudah mikirnya berjuang apapun yang terjadi," kata Faisal Yunus, dokter paru di RS Persahabatan.
"Walaupun terjadi apa-apa, artinya meninggal secara syahid lah. Dalam suasana kayak begini kita mau apa, masak kita mau lari? Tidak mungkin lah ya."
Kesimpulan, apa kuncinya ? Kalau ga mau lockdown?
Sekali lagi, sekali lagi :
Mass testing. Mass testing.
Bukan sekedar rapid testing yg tidak rapid.
Selengkapnya di :
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51958299