“Ming, gua dah di depan.”

*comot foto seberang ah

Segera keluar dari rumah, tidak lupa menggosok gigi terlebih dahulu(?) dan voila, sebuah Mazda2 GT(perlu banget ditulis trimnya?

Saya memberikan gestur tangan untuk mengambil alih kemudi, yang ditolak mentah-mentah oleh billyd1773dz. Okay….gak bisa dikasarin beliau

Setelah menyisiri beberapa jalan protokoler Bandung, akhirnya kita memasuki jalanan bebas hambatan, yang pada kenyataannya, cukup banyak hambatan di sana. Di kecepatan 120 km/h, suara mesin cukup halus, cukup disayangkan suara ban yang intrusif ke kabin penumpang. AC bekerja cukup baik, mengingat insulasi panas yang kurang baik dari mobil. Main suspect could be the mediocre windshield film.
Masuk rest area KM97, dengan gerakan cepat saya mengambil kemudi. Dengan muka ketakutan, billy d1773dz memberikan kendali. Setelah mengatur steer dan jok (akhirnya, bisa amblas juga…tapi thigh support masih kurang), kita meninggalkan KM97. Hal pertama yang saya lakukan sebelum merging adalah, masuk ke manual mode! Bukan untuk menahan rpm mesin di angka yang fantastis, melainkan untuk mengganti gigi tepat sebelum 4500 rpm. Hal itu dilakukan karena selama saya menjadi penumpang, saya tidak merasakan surge yang berarti beyond 4.5k rpm. Manual override cukup berhasil, mobil dengan santai berakselerasi hingga 140km/h tanpa suara mesin yang berarti. Hal kedua yang saya lakukan adalah, menyesali akan tidak adanya pedal kopling di trim GT. Impresi saya menyetir varian R manual masih sangat membekas. Makin baper ketika sadar paddleshifters di trim GT sangat terasa…Oppo dibandingkan iPhone (well, you know what I’m talking about


Mulai masuk ke Jakarta, dan kemacetan mulai semilir terasa. Saya pindahkan tuas ke D, untuk mengetahui seberapa pintar transmisi ini. Hasilnya? Baik untuk kelasnya, walaupun dapat gugup di kecepatan bumper to bumper. Sangat terasa apabila throttle dijambak mendadak (gak mau kasih jalur sama yang tukang mepet), rasanya 4spd unit milik Toyota tidak memiliki unecessary jiggles like M2. Saya curiga dengan programming TCU yang cenderung sangat konservatif untuk kecepatan rendah. It works in other slices of Earth, but not in Jakarta. But hey, you can’t have best of both worlds though.
Fitur yang ekslusif di GT seperti HUD dan BDSM (blind spot monitoring, you goof

Setelah beberapa jam sesi “panas” di Jakarta, akhirnya kembali pulang ke Bandung, ketambahan 1 orang lagi, ricz. Sesi pertama hingga pitstop KM57, diberikan kepada saya. Kekeuh dengan manual override, mobil saya arahkan menuju Bandung. Untuk city speed driving, saya rasa tidak overrated untuk menyalakan manual override mode. Transmisinya sigap untuk pindah, mampu melakukan throttle blip, dan halus. Satu hal yang menurut saya paling useless dalam paket ini adalah tombol yang “mengaktifkan” mode Sport, atau mode Berisik menurut saya.
Sepanjang perjalanan menuju KM57, di pikiran saya masih sangat berkecamuk akan trim GT manual. Akan segera menjadi mobil yang menjadi enthusiasts’ affordable and cheerful daily driver. Tidak terasa sudah memasuki rest area KM57, setelah beberapa waktu melakukan refill bensin dan Whopper, billyd1773dz masuk lagi ke kokpit pengemudi, dan berusaha untuk menyiksa saya dengan mematikan kompresor AC demi akselerasi maksimal.
Saat mencapai kecepatan tertinggi di 181 km/h, mobil terasa menapak, walaupun saya merasakan kegugupan di keempat ban nya. Andai saja Mazda memberikan opsi ban yang lebih performance oriented..
Sampai juga di kediaman masing masing, semuanya masih sehat tidak kekurangan suatu apapun. Allright, mobil ini cukup pandai memainkan sisi sentimental saya. Mobil yang sempurna? Well, ada beberapa aspek yang masih kurang mengena. Namun as a package? I have to say, cukup susah saat membandingkan mobil ini dengan Jazz. Apabila tiba tiba Eurokars cukup sinting mengeluarkan varian GT manual…well, you’d know my answer eh?


Cheerios, and see ya on the next…well idk when it will be..
