zweifellos wrote:mobil bensin bakal kerasa enaknya tentu kalo rpmnya tinggi. nah kalo torsi kurang (kalo beban banyak), power di mobil bensin pun terasa kurang berguna karena mobil ga bisa diajak ke rpm tinggi, kecuali masuk ke gigi rendah tapi gigi rendah juga punya limit akhir kecepatan di gigi itu. kasus seperti dulu bawa kijang (muatan penuh), mentok gigi 2 aja, tapi maksimal gigi 2 40-an kmh lebih, kalo digas lagi bakal meraung mesinnya tapi biasanya kalo digas lagi malah kurang kuat naiknya alias kaya ga dapat torsi (mungkin kurva torsi bensin memang seperti itu? jadi kalo rpm tinggi torsinya menurun?). beda misalnya pas bawa rocky (muatan penuh), gigi 3 masih dapat, jadi kecepatan masih bisa lebih tinggi dari kijang.
sori kalo contoh mobil bensin dan dieselnya ga nyambung, soalnya ga punya banyak pengalaman bawa mobil.

pada kijang lama itu juga karena power mesin model ini terlampau kecil 63 -72 ps. Pada sekitar 40kmh itu udah sekitar peak power di rpm 5000 dengan gigi-2, sudah habis, belum tentu kalo masih bisa "napas" 45ps/1000rpm lagi di avanza S misalnya.
Tentang kesan seolah lebih "kuat" karena "bisa" pakai gigi lebih tinggi juga bisa semu pada mesin2 sekarang.
Masalah posisi gigi dan rpm misal di tanjakan cuma sejauh skala dari putaran/peak kemampuan mesin.
Pada corolla Gti, misalnya, dengan gigi lebih rendah & "cuma perlu" berputar jauh lebih tinggi di rpm 3600 pun "baru" 50% saja peak keampuannya (yang tentu tidak mungkin kita treat sama seperti diesel hanya di rpm 2500 seperti nyetir rocky).
Padahal dengan posisi gigi lebih tinggi pada putaran lebih rendah rpm2500 di rocky, mesin karakter rpm rendah ini sebenernya malah sudah berputar 70% peak kemampuannya, atau udah poolll kalo di rpm3600 samain putaran Gti tadi.
karena ini, mobil dengan spec peak mesin "rpm rendah" timbul kesan; mobil dijalankan pada rpm lebih rendah
daripada melihat skala batas kemampuannya (yang seringkali justru dikuras lebih jauh).