Sebagai mantan pengguna VW Tiguan 2014, saya tergelitik untuk membandingkannya dengan Mazda CX-5 tahun 2021, yang saat ini menjadi kendaraan harian saya.
Well, saya mulai cerita dari VW Tiguan dulu. Mobil ini saya akuisisi sebelum pandemi menerjang Dunia tahun 2019 menggantikan Mazda 2 Skyactiv saya yang umurnya hampir 5 tahun di 2020. Mazda 2 adalah mobil yang sangat menyenangkan untuk dikendarai. Meskipun kecil, hatchback ini terasa lincah, irit bahan bakar, dan memiliki build quality yang baik. Saya sangat menikmati Mazda 2, dan sering mengendarainya sampai ke ujung pulau Jawa, dan pernah juga dua kali melakukan perjalanan jauh ke kampung halaman kami di ujung Sumatera tanpa kendala apa pun.
Hanya saja pada saat itu kami memutuskan untuk membeli mobil yang sedikit lebih besar dari Mazda 2, karena mobil ini adalah mobil bujangan saya, yang mungkin akan terasa kecil apabila sudah berkeluarga. Kriteria awalnya adalah compact or small/medium SUV bekas dengan budget tidak jauh-jauh dari rentang 180-230 juta. Kenapa SUV, karena saya tidak mau ada pertanyaan “bisa lewat sedan gak? gasruk gak?” pada saat ingin pergi ketempat-tempat tertentu. Mengapa bukan MPV, karena menurut kami belum ada MPV yang sesuai dengan selera kami, baik LMPV atau medium MVP. Informasi tambahan, kami tidak suka sensasi naik SUV body-on-frame, ditambah lagi istri saya sangat tidak suka dengan bau mobil diesel. Mengapa bekas, karena tidak ingin menambah biaya terlalu banyak untuk trade-off mobilnya. Pilihannya lumayan banyak, dari compact SUV seperti Chevrolet Trax, HRV, S-cross, dan CX-3. Di medium SUV ada CX-5 KE PF, CRV RM, X-Trail T32, Tucson, Sportage, dan VW Tiguan.
Kami coba mencari di online marketplace, dan coba-coba test drive -bila memungkinkan- dari pilihan mobil-mobil diatas. Dan dari semua pilihan yang tersedia akhirnya kami membuat short-listed dari seluruh kandidat yaitu, Trax, CX-5 KE PF, dan Tiguan. Dan pada akhirnya kami memilih untuk membeli VW Tiguan untuk daily driver kami. Kebetulan kami menemukan Tiguan dengan 2014 dengan kondisi yang amat sangat terawat, dan dengan service record beres VW yang tanpa perlu ada perbaikan untuk 6 bulan ke depannya, dan yang paling penting adalah masuk budget kami.
Ada alasan mengapa kami mengeliminasi Trax dan CX-5 KE PF. Kabin Trax terasa sempit dan bagasinya kurang luas, dan dari review otomotif yang saya tonton, konsumsi BBM-nya so-so untuk ukuran compact mobilnya. CX-5 KE PF, susah cari yang kondisinya benar-benar OK. Rata-rata odo-nya sudah gondrong dan perlu ada perbaikan sana-sini yang harus dilakukan setelah akuisisi, dan harganya plus perbaikannya sedikit over budget. Kami sempat menimbang CX-5 KE facelift, tapi harganya masih jauh diatas budget kami.
Ada alasan lain mengapa kami pilih VW Tiguan yaitu desainnya yang timeless dan kabinnya yang luas meski memiliki ukuran yang kompak. Fiturnya pas dan fungsional tanpa harus banyak gimmick seperti Bi-Xenon headlamp with auto-leveling, Auto-start stop engine, electric parking brake with auto-hold, head-unit with integrated CD changer with 8 speakers, auto-headlamp, auto-wiper, auto dimming mirror, dan 6 airbags, menurut saya sudah lebih dari cukup, walaupun ada beberapa draw-back yang nanti akan saya jelaskan.
Pengalaman berkendara dengan VW Tiguan menurut saya sangat memuaskan. Tiguan menawarkan kombinasi sempurna antara kenyamanan dan handling yang responsif. Tetap stabil dan nyaman pada saat melintasi jalan Tol TransJawa-bahn, disisi lain sangat fun-to-drive dan lincah dikendalikan di jalan berkelok di lintas timur dan Tengah Sumatera. Suspensi khas Jerman yang menyatukan kenyamanan dan stabilitas adalah keunggulan tersendiri yang sulit ditandingi oleh mobil-mobil Jepang atau Korea. Kekedapan kabin Tiguan juga sepertinya setingkat di atas mobil-mobil yang kami tes drive sebelumnya. Suara luar tidak terdengar (kecuali motor dengan knalpot Bronx), suara mesin hampir tidak terdengar dan baru terdengar di atas 3000RPM, dan suara kolong juga sangat minim.
Mesin 1.4 liter dual-charger TSI dengan tenaga 150HP dan torsi 250Nm dikombinasikan dengan DSG DQ250 6 Speed wet clutch (worry free) lebih dari cukup untuk sebuah SUV medium kompak ini. Tenaga dan torsinya ada terus bahkan dari putaran bawah. Mungkin karena ini dihasilkan dari kombinasi super-charger dan turbo charger, yang mana super-charger bekerja pada putaran bawah mesin, dan turbo-charger bekerja di putaran atas. Tetap ada sedikit turbo-lag tapi sangat minim, dan saya sangat suka respon mesin dan transmisinya buat sekali-kali meladeni penguasa transjawaban (baca: Fortuner, PS, dan ANKI mapping). Kecepatan maksimal yang pernah saya capai adalah 190 Kph in cluster (179 Kph in GPS).
Ada hal-hal atau detail kecil khas VW yang saya sangat suka. Dimana detail-detail kecil ini sangat jarang ditemui pada mobil-mobil keluaran Jepang. Jok baris kedua dirancang lebih tinggi dan memiliki sandaran yang lebih nyaman, serta kapasitas bagasi yang fleksibel karena dapat diperluas dengan slide forward atau melipat kursi belakang. Detail kecil di interior seperti center console handrest yang adjustable maju mundur atas bawah, laci di bawah jok pengemudi dan penumpang depan, laci untuk koin di bagian kanan supir, 140–220-watt European socket, ada banyak hook, ada tempat penyimpanan kecil di sisi kanan dan kiri jok penumpang, ada meja makan kecil (sangat berguna apabila punya bayi atau balita), glove box besar dengan lampu, footwell light, welcome light, pengunci alas bagasi pada saat diangkat (jadi gak perlu dipegangi terus saat mau akses spare tyre dan lain lain), dan masih banyak lagi. mengingat mobil ini pertama kali kelaur di tahun 2008, dan dapat dikatakan bahwa VW Tiguan adalah salah SUV yang well-equipped dibandingkan dengan rival-rivalnya pada saat itu.
Dari sisi exterior; ada headlamp washer (berguna banget pada saat jalan di lintas Sumatera), cornering light, adapative head light, spion kiri yang otomatis adjusted ke bawah pada saat masuk gigi mundur, wiper belakang yang otomatis nyala pada saat mundur dan hujan, welcome light di spion kiri dan kanan, roof rail (solid), fog-lamp belakang, dan juga parking-light.
Ada beberapa draw back tentunya, atau kalau kata Matt Wason di Carwow, “five annoying things”,1. AC masih manual puter-putaran kompor walaupun ada penghangat dan arah semburan; 2. Tidak ada cruise control; 3. Tidak ada fitur Bluetooth di headunit standar, 4. Tidak ada camera mundur; dan 5. Tidak ada vanity lamp. So, kesan memakai mobil ini selamat hampir 5 tahun adalah puas banget, walaupun pada akhirnya kami harus rela melepaskannya karena umur (wear and tear).
OK. Kita lanjut ke pengganti mobil VW Tiguan ini. Jujur cukup sulit untuk mencari pengganti VW Tiguan pada saat ini. Dari sisi harga, mobil compact SUV sekarang sudah seharga medium SUV 4-5 tahun yang lalu. Dan harga medium SUV saat ini sudah seharga mobil full size SUV. Apalagi dari sisi kenyamanan, driving experience, dan BQ, mungkin hanya bisa dibandingkan dengan mobil eropa lainnya. Tentu ini menjadi pilihan yang sangat sulit buat kami dengan budget pas-pasan. Syarat yang kami tetapkan tetap sama, harus dapat mobil yang minimal sama-sama SUV, tahun muda (max 3 tahun), dan top-up harga yang tidak terlalu jauh gap-nya maksimal di IDR 400-450 Mio.
Ada beberapa pilihan yang masuk short-listed kami di rentang harga segitu, ada family SUV CRV RW, CX-5 KF, Tiguan All Space, dan -maunya istri BMW X1- (2019 ke bawah). Pada akhirnya pilihan mengrucut ke Tiguan All Space dan CRV RW. Istri saya mengeliminansi CX-5 karena Cuma 2 baris, dan saya mengeliminasi X1 karena 3 cylindernya
Kesan di RW setelah test drive; saya suka, istri “Meh”. Saya suka karena pertama ini mobil 3 baris nan lega, Dimana saya juga tetap bisa ngebut. 1.5 l turbo-nya ini secara ajaib bisa mengompensasi kebolotan CVT Honda yang saya gak pernah suka. Tidak se-responsif VW diputaran bawah, tapi putaran atasnya luar biasa untuk meladeni pengendara Jamet di Tol Transjawabahn. Istri “meh” karena, berisik disisi peredaman kabin dan road noise (istri saya membandingkan dengan VW tiguan kami sebelumnya), interior biasa aja dan beberapa titik ada suara ratle, jok-nya “katanya” gak enak, kualitas interior juga “meh” (ini dalam konteks CRV RW yang kami tes, bukan CRV RW in general ya).
Kesan di Tiguan all Space, sama seperti Tiguan MK1 kami sebelumnya, ditambah dengan fitur yang lebih modern, lebih lega, dan tentunya worry free sama penggantian kaki-kaki, waterpump, mechatronic, wear and tear. Satu lagi yang bikin saya terkesan adalah gimmick auto-parking, dan adaptive damper yang fungsional. Selebihnya ya kelas VW yang selalu meberikan feel ride quality, driving experience, and comfort in one place. Tapi ada satu kekhawatiran saja terhadap VW Tiguan All space ini, dimana populasinya yang tidak terlalu banyak, mungkin nantinya akan susah untuk mencari spare part after market-nya. Hal yang berbeda dengan Tiguan MK1 yang dipasarkan bersamaan dengan Golf MK VI dan Scirocco, jadinya sangat mudah untuk mencari part-part after market. Setelah menimbang dan menimbang, akhirnya kami mengalah dengan kenyataan bahwa CRV RW adalah pilihan yang paling rasional untuk saat itu.
La terus kenapa tiba-tiba beli CX-5 2021. Ada teman kami yang entah darimana dia tahu kalau kami sedang mencari mobil. Dia tiba-tiba menawarkan CX-5 ke kami dengan harga yang masih masuk budget kami. CX-5 2021 GT Black Edition (edisi Kuro kalo sekarang), yang hampir 3 tahun terparkir di garasi dengan KM pemakaian yang masih 1800-an km. Masih plastikan, masih bau pabrik, belum ada wear and tear, dan ajaibnya servisnya rutin per-6 bulan di beres Mazda.
Tentu saja saya tertarik, kapan lagi dapat mobil CX-5 rasa baru seharga CX 3. Hal kemudian saya diskusikan dengan istri saya, dan dengan beberapa pertimbangan akhirnya kami memilih mobil CX-5 ini. Toh sebelumnya memang salah satu mobil dalam short-listed kami. Akhirnya kami menyelesaikan administrasi pembayaran dan bawa pulang mobil ini. Saya Bahagia, karena dari dulu saya memang suka Mazda. Istri felt so-so, karena sebenarnya istri maunya tetap mobil yang 3 rows.
Sedikti cerita bahwa CX-5 GT 2021 ini adalah tipe improvement dari tahun 2020 yang mana pada tahun 2021 hanya ada satu trim CX-5 yang dipasarkan Eurokars di Indonesia yaitu tipe GT saja tanpa ada tipe Elite. Ada beberapa improvement di versi GT 2021 dari sisi safety dan fitur sepeti diantaranya: RCTA, blind spot monitoring, adaptive headlights, Android dan wireless CarPlay, speedo meter LCD 7”, heads up display, power back door, paddle shift dan layar MZD 8 inch. Dan apabila dibandingkan tipe Elite 2020, fitur i-activesense absen pada tipe GT adalah SCBS dan LKAS, dan bila dibandingkan Kembali dengan CX-5 2022 up, adalah Mazda Radar Cruise Control (MCC) atau ACC. Terus apa bedanya versi black edition dengan versi GT biasa. Black edition ada tambahan black piano roof rail, black piano 19” rims, black piano side mirror, scuff plate, dan kombinasi leatherette dan Alcantara look upholstery seat, plus red stitching dan carbon look trim dashboard dan pintu. Sisanya sama semua.
So, let's compare it with the VW Tiguan MK1. CX-5 ini menawarkan driving experience yang berbeda dengan Tiguan. CX-5 lebih terasa sporty-nya dengan posisi duduk yang lebih rendah (sedikit) dari Tiguan, dan setup suspensi yang cenderung lebih keras. Sepertinya travel suspensi CX-5 lebih rendah/pendek daripada Tiguan, hal ini dapat dirasakan pada saat melewati polisi tidur di Grand Galaxy Bekasi (Lokasi yang biasa kami lewati dengan Tiguan) dimana CX-5 cendrung lebih kaku dengan rebound lebih cepat. Kompensasinya, saya sekarang lebih pede di kecepatan 100 km/h di pengkolan Tol Becakayu Cawang. Stir-nya juga lebih kecil dari Tiguan dan lebih enak digenggam oleh tangan saya, feel dan feedback stir CX-5 terasa sedikit lebih baik dari Tiguan. Lebih sharp, lebih predictable, dan sesuai dengan yang diarahkan. Feel rem pada CX-5 ini berbeda dengan Tiguan, CX-5 cenderung mengeloyor kalo direm, dan harus menginjak rem agak dalam. Pada saat awal saya nyetir ini mobi, saya pikir mobil ini memang gak ada rem-nya, atau serasa pad dan piringan cakramnya sudah habis. Berbeda sekali feel-nya dengan rem Tiguan yang progresif.
Ada perbedaan mendasar di sektor mesin dan transmisi. CX-5 masih menggunakan mesin NA dengan kubikasi 2.5l dengan tenaga on-crank 190 hp, dikombinasikan dengan transmisi AT TC Skyactiv-Drive 6 speed. Di atas kertas, CX-5 jauh bertenaga dibandingkan dengan Tiguan, tetapi dengan torsi yang sama besar yaitu di angka 250nm, saya merasakan Tiguan terasa lebih sedikit punchy dan responsif di rentang kecepatan 40-80km (kecepatan daily use saya), bisa jadi ini karena respons super-charger dikombinasikan dengan DSG dual-clutch-nya. Padahal kedua mobil meggunakan BBM yang sama yaitu kombinasi Pertamax Turbo, Shell Nitro/Power. Transmisi Skyactiv 6 speed Mazda itu sudah sangat baik responsnya dibandingkan transmisi TC mobil lain, tapi dual-clutch itu memang di level yang berbeda untuk kecepatan perpindahan giginya. CX-5 terasa lebih powerful di rentang 80Km/h ke 160km/h. Tetapi setelah 160 km/h, CX-5 terasa boyo kembali. Mungkin engineer Mazda memang men-set mesin 2.5l, secara elektronik, dan transmisi di putaran bawah-menengah, atau bisa saja ini memang karakter dari mesin dengan Miller Cycle. Sehingga di putaran atas terasa sekali mobil ini keteteran. Konsumsi BBM untuk CX-5(10,1 km/l) slightly better untuk pemakaian dalam kota dibandingkan Tiguan (9,8 km/l) dengan asumsi kecepatan rata 25km/h, sedangkan untuk pemakaian long haul keluar kota, Tiguan is slightly better (16,7 km/l) dibandingkan CX-5 (15,1 km/l) dengan asumsi kecepatan rata-rata 100 km/h dengan metode yang pernah saya lakukan yaitu full to full. Suprisingly, speedometer di CX-5 ini sangat akurat bila dibandingkan dengan kecepatan GPS tanpa ada deviasi sama sekali.
Soal kepraktisan, Tiguan menang banyak apabila dibandingkan dengan CX-5. CX-5 ini as a standard Japanese car yang tidak terlalu concern dengan kepraktisan as European car. Bagian depan; hanya ada 2 penyimpanan tertutup (glove box dan konsole tengah) yang ukurannya biasa aja, 1 penyimpanan terbuka di bawah konsol AC, dan satu di masing sisi kanan kiri pintu bagian handle, door pocket yang lumayan besar, dan 4 bottle holder (2 ditengah dan dipintu kanan kiri). Bagian belakang; 2 bottle holder dan door pocket kecil di bagian pintu, 2 bottle holder di arm rest (bila dibuka), dan seat poket di kedua sisi jok depan. CX-5 juga sudah dilengkapi dengan auto-climate dengan dual zone dan sunroof.
Untuk interior dan kelegaan kabin, ternyata CX-5 tidak sesempit yang diinformasikan orang-orang. Bila dibandingkan dengan Tiguan, CX -5 sedikit lebih lega dibagian jok belakang. Secara dimensi, CX-5 hanya lebih Panjang 148 mm dari Tiguan (4575mm vs 4427mm), tetapi dalam komparasi kelegaan bagasi, kaca belakang CX-5 yang melandai sedikit mengurangi kapasitas dan fleksibilitas dalam pengaturan bagasi. Dan surprisingly, kapasitas bagasi Tiguan (520l) lebih besar dari CX-5 (458l). Kekedapan kabin CX-5 sedikit di bawah Tiguan. Suara mesin masih terdengar, suara ban juga masih sedikit terdengar karena mungkin ada perbedaan merek dan tipe ban. Tiguan pake Michelin Primacy 4, sedangkan CX-5 masih pakai ban bawaan pabrik yaitu Toyo R46, yang dari sisi kembang memang terlihat sedikit untuk semi performance. Untuk noise dari luar menurut kuping kami sudah teredam sangat baik. Posisi windshield yang landai dan cukup dekat ke posisi pengemudi dan penumpang depan memberi sudut pandang yang lebih luas dan mengurangi blind spot. Tapi ada kompensasinya akan terasa sedikit panas di wajah apabila matahari lagi Terik-teriknya karena posisi kepala jadinya terlalu dekat dengan windshield. Padahal saya sudah pakai kaca film VKool VK40. Sebagai perbandingan, di Tiguan sebelumnya kami juga memakai jenis kaca film yang sama, dan kami tidak mengalami hal ini.
Sampai saat ini, selain rute dalam kota, CX-5 kami sudah menjelajah ke ujung timur pulau Jawa dengan rute terjauh adalah Bromo dan beberapa kali ke Jawa Tengah bagian selatan, dan rute terjauh ke Barat saat ini adalah provinsi Lampung. Next, rencana akhir tahun kami adalah pulang kampung ke Aceh melewati lintas tengah Sumatera dengan beberapa stop-over di Palembang, Padang, Bukit Tinggi, Danau Toba dan kota Medan.
Five annoying things: 1. Tombol door lock dan mirror tidak illuminated (susah harus meraba-raba kalau lagi malam); 2. Tidak ada footwell or welcome light 3. Auto-hold yang harus diaktifkan setiap menyalakan mobil, 4. Tidak 220-power socket, 5. Electric jok dan power backdoor-nya berisik.
Kesimpulan:
Tiguan adalah salah satu yang terbaik dikelasnya yang mempunya ciri khas dan caranya sendiri untuk mengimpresi pengguna termasuk saya. Kombinasi sempurna antara kenyamanan, build quality, kepraktisan, driving experience dan performance menjadi satu kesatuan yang menjadikan mobil ini layak untuk dipinang. Tidak ada yang salah dengan mobil Tiguan ini selain ATPM-nya yang ogah-ogahan.
Untuk CX-5, dengan ketidaksengajaan didalam kesempatan, kami sangat puas dengan CX-5 kami untuk 9 bulan pemakaian. Selalu ada trade-off, pros/cons untuk masing-masing mobil, tapi pada akhirnya kita memilih berdasarkan selara dan kebutuhan kita. Mazda memang tidak pernah salah dalam promosinya “Jinba-Ittai”. Impresi mengemudi saya dengan Mazda 2 Skyactiv dan CX-5 adalah sama. Mobil ini sangat nikmat dan menyenangkan untuk dikendarai, yang seperti terus-menerus meminta kita mengendarai mobilnya.