kunaskun wrote: Thu Oct 10, 2024 6:10
tapi quality of life menurun banyak.
saya sudah satu dekade di kampung di kota kecil di pantura jateng
apa udara lebih baik dari kota? iya kalau tinggalnya di gunung atau daerah bukit yg ga ada sawah, kalau ngga, siap2 tiap bulan ada aja hasil bakar sawah yang masuk rumah atau kalau apes ada aja tiap jam yg bakar sampah entah darimana. ribut2 AQI jakarta tinggi? cek saja sumber polusi terbesar selain PLTU tentu saja bakar lahan. and you live near it
transportasi ga macet? memang iya, tapi lebih banyak reckless driver karena daya juang rendah, kecelakaan ada BPJS, ga ada BPJS? ada aja yang nolongin entah sodara, tetangga, teman, boss = apa2 musibah dan apes. public transport? tentu ga ada, untung sudah ada ojol jadi setidaknya ada alternatif daripada ngangkot yg masih cetakan tahun 70. dan inilah alasan kenapa ahond roda skandal rangka patah ga kemana2, karena ya semua org mau ga mau harus ada.
hiburan? jelas tidak ada. andelan cuma streaming internet. bioskop ada, tapi apa betah dengan harga sekian, dapat kualitas layar dan audio seadanya belum lagi perilaku penonton lain yg lebih tidak beradab daripada kota. hiburan malam plus2? ya pasti adalah
makanan dan minuman? ya seadanya saja. yg lagi trend di sosmed, hitungan bulan sudah ada kw-nya di sini, kw? yep, karena UMR rendah tentu ga bisa jual dengan harga sebenarnya, jadi potong kompas cari cara yg penting mirip. pernah makan tteopokki dengan saos tomat kiloan? its wild
pengeluaran lebih rendah? yes and no. Yes karena otomatis apa2 lebih murah dari jakarta, tapi dengan kualitas lebih rendah. sederhana saja: mau beli kol tomat cabe bagus anda harus ke pasar utama dan siap2 perang nego harga yg saya rasa ga worth the effort kalau beli cuma sekian ratus gram. sisanya tentu ke tukang sayur terdekat, hasilnya ya downgrade kualitas habis2an karena menyesuaikan daya beli. percayalah langganan tukang sayur gerobakan di jakarta kota jauh lebih menarik di mata daripada disini. not to mention quality of animal protein.
urusan public service? Pi-En-Es to the max.
and all, karena everything still judges by bibit, bebet dan bobot. believe me, anda lihat banyak tukang pamer di sosmed, dikit2 sultan daerah mana, anda harus kaya gitu, kalau ngga anda dianggap miskin, literally. sampe saya baru tahu rasisme itu ga cuma soal SARA tapi juga poverty racism. anda akan selalu dianggap miskin kecuali anda tampilan kaya sultan. di jakarta, coba saja kaya gini, hitungan hari bisa jadi anda korban kejahatan

and almost everytime, ppl gonna ask you: anak siapa, rumah dimana, kenal siapa
otomatis ini berhubungan dengan social life. even to the neighborhood. julid, riya, ghibah tetangga? to the DNA level

you just can't live like in Jakarta, cuek2 saja dengan tetangga, mau ngapain asal ga ganggu, disini? sekedar keluar buat nyirem tanaman saja dijulidin, apalagi lingkungan bawah. percayalah kalau anda orang normal dengan mental sehat yang mengganggap sh*tnetron itu harus dimusnahkan dari muka bumi, maka disini hitungan belasan menit interaksi dengan tetangga kadar hormon hidrokortisol anda akan naik 1 juta persen. apalagi anda baru pindah ke lingkungan baru.
the plus side, slow life tempo. very slow karena kemana2 hitungan belasan menit. hasilnya? semua org disini beneran males = low productivity. anda di jakarta biasa lihat tukang cat tembok satu hari bisa kelarin satu bidang 20 m2? disini, 10 m2 itu pun jika anda dapat tukang yang benar dan mau kerja untuk anda. kok gitu? tiap jam udut, masuk on time, kelarnya lebih cepat, siang mesti pulang ke rumah yang kalau jarak jauh artinya baliknya telat.
mungkin kalau anda sudah lepas dari usia produktif, mau slowing down, sudah banyak simpanan uang ini adalah opsi tepat.
karena otomatis anda punya power dari segi senioritas karena faktor umur, harta karena uang anda banyak
jika di jakarta ada 10 juta orang produktif, dan orang produktif se-Indonesia ada 50 juta, artinya hanya 20% yg kerjanya "benar". dan inilah alasan nyaleg ga usah repot2, modal serangan fajar saja