chaprizone wrote:ngomongin rapid test, ada 2 teman saya yg rapid testnya non reaktif, tp swabnya positif
sebelumnya cm baca2 aja klo akurasi rendah, tp begitu ada tmn sendiri yg ngalamin jd makin gk percaya sm hasil rapid

Bukan akurasinya rendah sih om, ini memang karena sifat rapid test pun hanya mendeteksi adanya infeksi dalam tubuh krn antigen yg bekerja untuk memproduksi antibodi. Jadi kalau reaktif pun gak bakalan ketuan kenapa ada antibodi terbentuk. Bisa jd virus lain karena tidak ada markernya. Jadi jangan heran kalau rapid nya reactive tapi swab PCR nya negatif.
Kalau PCR ini jelas2 pakai reagen yg bisa mendeteksi covid19. Makanya disebutnya positif bukn reactive. PCR pun ada false positife dan false negatif. Jangan heran juga kalau ada yg kena covid19 tapi di PCR negatif. Hal ini karena ada rentang waktu kapan covid19 masuk ke tubuh dan bisa terdeksi melalui PCR. Makanya kalau sudah dianggap positif akan dilakukan swab ulang. Ada juga yg positif dan tidak bergejala hanya diisolasi dan di monitor bahkan tanpa ada PCR swab kedua karena orang ini sudah dianggap melewati rentang waktu tertentu, dan tidak ada gejala yg timbul jadi dianggap covid19 sudah hilang atau tidak bisa menularkan lagi.
Rapid test ini hanya digunakan untuk deteksi dini, dan tidak bisa digunakan untuk diagnosa. Hanya deteksi dini aja. Diagnosa tetap test PCR.
Intinya sih hanya 3M aja untuk pencegahan dan perbanyak test sesuai standar WHO. Sebanyak apapun pemerintah keluar uang untuk bayar test, doker dan nambah RS, tetap gak akan bisa menghilangkan penyakit ini tanpa kepatuhan masyarakat atau paling tidak sampai vaksin keluar dan at least 95% populasi diimunisasi sehingga timbul herd immunity.
Bayangkan, butuh puluhan tahun hanya untuk nyuruh masyarakat pake helm, sampe skrg pun masih banyak yg gak pake.
Perubahan perilaku itu memang sulit sekali.
Saya 2 tahun lalu bantu pemerintah, kampanye supaya masyarakat mau mengimunisasi campak dan rubella supaya terhindar dr rubella syndrome aja setengah mati rasanya padahal sudah dikasih contoh depan mata ada anak yg kena rubella syndrome - pembengkakan otak, jantung bocor, dan menjadi keterbelakangan mental. Anaknya kita tunjukkan, sambil bilang “apakah ibu2 mau nanti anak ibu dilahirkan seperti ini?” Jawabnya: vaksin nya ada label halal? Gak mau ahh nanti anak saya panas badan nya kalau diimunisasi, vaksinasi ini konspirasi zionis untuk memusnaskan muslim, dll.. tapi kalau ada yg diabetes aja, gak peduli dikasih dokter obat disuntik adem ayem gak tanya ini obat ada label halal nya apa nggak. Dikasih resep obat sama dokter gak pernah tuh tanya halal haram, maen tenggak aja. Padahal vaksin nya gratis tis tis.. di malaysia atau spore kalau gak salah harus bayar 1-3 juta padahal.
Ini contoh tantangan kedua setelah vaksin ditemukan.
Perjalanan masih panjang kawan... 3M dan jaga imunitas aja (olah raga, gizi seimbang, vitamin)