




Ketika 2016 CX9 Sky meluncur, khususnya di Amerika, semua North American reviewer yang saya tahu di Youtube berkonklusi bahwa CX9 adalah medium SUV yang sangat baik.
Space dari ketiga kabinnya dianggap masih masuk akal bagi caucasian, plus material dan fit finishnya dinilai melampaui kelas saingannya di price range yang sama. CX9 juga mendapat bintang 5 dari berbagai pengujian keamanan. Segala fitur kepraktisan dan keamanan telah memenuhi segala checklist seorang soccer mom. Dan sebagai family hauler, performa mesin dan terutama driving dynamics nya adalah yang tidak disangka bisa ada di longest medium SUV available, 5075 MM in length.
Prediksi positif bagi masa depan CX9 di US ada di setiap review. Melihat masyarakat sudah terlalu lama mendengar nama itu-itu saja yang sudah ada semacam Toyota Highlander, Honda Pilot, Ford Explorer, maka CX9 dianggap akan membuat para calon pembeli mudah beralih dari pilihan mainstream selama ini. Kalau reviewer sudah positif seharusnya masyarakat juga positif kan? To be continued...
The Case For Comparison


Skip ke tahun-tahun berikutnya 2017 dan 2019, secara berurutan VW dan KIA dengan Atlas dan Telluride nya menggebrak pasar medium SUV Amerika. Merk-merk yang sudah established tadi seperti melirik sinis, khususnya ke oknum paling recent, artis Kpop yang mengusik kestabilan Hollywood selama ini. Bentuk keduanya boxy dan roomy, ditambah mereka masih menawarkan pilihan V6: thirsty and heavy, like most American. Dan agility isn't a priority. Hal-hal itu membuat keduanya di welcome bagai war hero coming home from Vietnam.
VW dan KIA sebelumnya tidak pernah memproduksi a proper American mid-size SUV, yet Atlas dan Telluride disambut seperti masyarakat sudah mengenalinya sejak lama. They hardly know them, but they spend money anyway for their love in the first sight.
Lalu apa kabar si dynamic & sporty, 3-row-approved CX9, 2016-wonderkid yang dinilai bakal menjadi tough contender?
The Case For Sales
Sumber: carsalesbase.com

Di atas adalah angka penjualan CX9 di US 3 tahun sejak diluncurkan. Kalau dilihat, meskipun stagnan, secara angka sekilas tidak buruk, apalagi kalau perbandingannya adalah angka sales mobil di Indonesia, yaitu sedikit lebih tinggi dari penjualan Suzuki Ertiga pada 2019. Namun mari kita melihat data sales mobil di Amerika.
Ford Explorer



Di atas adalah angka sales sebagian pemegang status quo mid-suv di US 3 tahun terakhir yang rajanya adalah Ford Explorer disusul Honda Pilot dan Toyota Highlander.
Kalau 2017 penjualan Explorer 271.000 unit dan CX9 adalah 26.000 unit, maka bisa dibilang hantaman si rookie tidak terasa. Mungkin ada argumen "Kan CX9 skyactiv baru muncul, perlu pengenalan market dulu." Tapi itu tidak membantah stagnan nya penjualan CX9 di tahun-tahun berikutnya. Bandingkan dengan penjualan the same rookies, VW Atlas dan KIA Telluride, di gambar berikut ini.


Penjualan Atlas di tahun pertama sama dengan CX9, namun langsung melonjak tajam di tahun keduanya, dan di tahun ketiganya benar-benar meledak. Bahkan Telluride di tahun debutnya tidak pakai pemanasan, langsung menggebrak dengan angka nyaris 60.000 unit.
Sangking dahsyatnya penjualan kedua SUV ini di tahun 2019, sampai-sampai efeknya jelas terlihat di angka penjualan the glorious Ford Explorer yang merosot tajam di tahun tersebut. Bisa dibilang pula Highlander dan Pilot juga terkena ceruknya melihat angka mereka di 2019.
Apa yang salah dengan CX9? Good reviews almost everywhere, tapi tidak tercermin di penjualan.


Kalau melihat angka-angka SUV sales di US tadi, sebenarnya ada hal yang sama terjadi di SUV Indonesia. CRV tidak perlu didebat adalah SUV monokok terpopuler, dan CX5 adalah promising challenger nya. Menurut data Gaikindo, penjualan CRV di 2019 adalah 10.060 unit dan CX5 adalah 1769 unit. Bandingkan dengan Wuling Almaz, yang jauh lebih muda daripada Mazda, namun penjualan spektakuler nya yang sebesar 9.743 di tahun yang sama membuat Wuling SUV ini face to face langsung dengan old establishment.
Pola apa yang terbentuk dari kisah ini?
The Case For Dimension


Kritikan terhadap CX9 di US salah satunya adalah perbandingan dimensi panjang keseluruhan dengan legroom. Telluride memiliki panjang keseluruhan 5000 MM, lebih pendek 7.5 CM dari CX9. Namun yang mindblowing adalah ternyata Telluride memiliki combined legroom lebih besar 17 CM! (sumber: https://youtu.be/qL4yPLwOchs) Saya berpikir dimana gerangan hilangnya legroom sebesar itu di mobil yang lebih panjang?
Saya pernah mengatakan di ownership review CX9 viewtopic.php?f=19&t=29081 bahwa saya senang sekali dengan dimensi interior mobil saya. Dan saya juga menulis bahwa design CX9 yang sleek tidak mengurangi legroom. Tapi sekarang saya baru sadar setelah melihat car spec di US, bahwa CX9 memiliki dimensi overall yang terlalu besar dibanding space interiornya. Rupanya saya merasa interiornya spacious hanya karena saya naik kelas dari compact SUV ke mid-size SUV, bukannya membandingkannya dengan kelas yang sama.
The Case For Common Sense
Match Result: Space 1 VS 0 Driving Dynamics
Space wins. Kelegaan selalu menjadi kesadaran utama konsumen dalam memilih. Dan kalaupun bukan hanya soal kelegaan, maka itu bisa soal harga lebih murah, tech gimmicks, jangkauan service center, brand recognition, tapi tidak pernah tentang fun to drive over those things.
Bisa dibilang percuma menyematkan sporty handling di sebuah mobil orang kebanyakan. Biaya riset teknologinya bisa lebih mahal dibanding ongkos survey keinginan pasar, dan ternyata investasi lebih mahal tersebut kurang mendatangkan revenue selaras dengan mahalnya R&D.
"Bro cerewet banget sih lu? Kan enak buat kita customer, jadi banyak pilihan. Biarin aja mereka buang duit." Sebetulnya ada benarnya kita mendengar suara majority yang suka spaciousness itu dan tidak termakan iklan sporty handling. Tanah mahal karena lebarnya, apartemen nyaman karena luasnya. Ada salesperson yang hebat, bisa menjual apartemen sempit dengan harga tinggi dengan menonjolkan hal-hal lain. Masalahnya, hal-hal lain itu ternyata tidak lebih penting daripada space, dan penyesalan merasuki kemudian setelah buyer beberapa lama menempatinya.
"Terus anda sendiri kan beli CX9 yang sedang dibahas ini? Anda mengaku kena bujuk skyactiv?" Kalau saya termakan marketing driving dynamics dan menghiraukan space, tentu saya akan beli CX5 over CRV or Almaz or Xtrail. Tapi saya beli CX9. Kenapa?
Alasannya sama seperti kenapa orang beli 1 unit BMW X7 padahal duitnya bisa untuk 5 unit Fortuner. Saya pilih CX9 bukan semata karena sporty drivingnya, tapi lebih kepada mobil ini adalah mobil "naik kelas", dengan kata lain higher trim than most. Sportiness 'kebetulan' ada pada pilihan naik kelas ini.
The Case For Sportiness



Sporty driving bisa dikatakan silver ware saat makan steak, asik kalau ada, namun yang benar-benar dinikmati adalah dagingnya.
Jadi kalau seumpama ada orang membeli M series, Brabus line, Type R, yang semuanya memiliki exceeding driving dynamics, sebenarnya alasan mereka bukanlah ingin burnin' rubber at every traffic light atau ingin pushing lateral G in every corner setiap kali berkendara, tapi semata-mata karena the pride of having luxury brand or highest trim than others. Dan highest trim cenderung memenuhi lebih banyak aspek termasuk driving dynamics, tapi dia bukanlah faktor utama.
The Case For Medium Class
Lalu apa artinya bagi pemakai mobil kebanyakan, medium trim, atau non luxury brand? Mereka tidak boleh terjebak di alam pikiran yang tidak apa-apa mendapat silver ware nya saja karena tidak bisa memesan paket steak fine dining secara utuh. Driving dynamics sebenarnya hanya salah satu unsur dari mobil premium yang coba di adopsi oleh produsen ke dalam mobil trim menengahnya untuk menarik konsumen berpikir "I buy a better car for the similar price."
Dengan budget harga mobil kelas menengah, konsumen tidak bisa memiliki segalanya. Jika memilih driving dynamics sebagai faktor utama, maka banyak hal harus dikorbankan. Banyak karena riset nya panjang dan mahal, semua aspek mobil dihitung untuk mencapai akurasi dalam berkendara. Bagi Mazda, diperlukan 10 tahun r&d untuk menelurkan skyactiv line-up (sumber: https://www.wardsauto.com/technology/ho ... logy-works. Mulai dari mesin, transmisi, body, sampai chassis. Too much things in one take.
Jika konsumen giveup driving dynamics untuk hal lain, maka yang di take cenderung lebih banyak. Kok bisa? Contoh di US khususnya terjadi di Telluride. Konsumen tidak hanya mendapat spaciousness, namun harganya juga lebih murah dibanding the sporty contender nya (Telluride SX USD 42.585
vs CX9 Signature USD 46.315). KIA tinggal membuat platform SUV favorit yang sudah ada: (1). Boxy equals headroom & legroom (2). Don't kill V6. Tidak perlu riset berkepanjangan dan menaruh biayanya di ongkos produksi. Tidak ada makan siang gratis, konsumenlah yang membayar riset mereka.
Case Closed

Moral value nya adalah, ada yang hal mendasar yang perlu dipahami semua calon pembeli mobil dengan melihat angka penjualan CX9 di US dan CX5 di Indonesia yang aneh karena tidak sehebat kualitas barangnya. Pesannya yaitu they don't sell because, in the end, people don't want sportiness in mid-level car and so should we. Taruhlah harapan sporty driving pada mobil mahal impian sekalian, tapi jangan pernah pada mobil harian, sejujurnya kita tidak benar-benar menyukainya.