Setelah membeli cemilan Jagung manis itu..kami segera lanjut jalan kembali menuju Hotel Grand Royal Denai di Kota Bukittinggi...
Hari semakin gelap dan jam menunjukkan sudah hampir tiba waktu magrib...
Setiba nya di Hotel, kami membersihkan diri, sholat maghrib dan segera bersiap di Lobby Hotel...
Lho mau kemana lagi..????
Kembali Jam Gadang menjadi tujuan kami untuk wisata kuliner khas Bukittinggi...
Kali ini kami mencicipi Sate padang yang cukup berbeda, bukan kelas Kaki lima yang bertenda besar..apalagi restoran, ini Sate padang yang hanya berjualan di sebuah sepeda motor tapi ramai sekali di kunjungi pembeli... saya pun penasaran dan menurut insting kuliner saya : Ini pasti enak dan murah... Hehehehe.. benar saja, Lezaaattooossss...
Sate Padang adalah sebutan untuk tiga jenis varian sate di Sumatra Barat, yaitu Sate Padang, Sate Padang Panjang dan Sate Pariaman.
Sate Padang memakai bahan daging sapi, lidah, atau jerohan (jantung, usus, dan tetelan)[1] dengan bumbu kuah kacang kental (mirip bubur) ditambah cabai yang banyak sehingga rasanya pedas.
Sate Padang Panjang dibedakan dengan kuah sate nya yang berwarna kuning sedangkan sate Pariaman kuahnya berwarna merah. Rasa kedua jenis sate ini juga berbeda. Sedangkan sate Padang mempunyai bermacam rasa perpaduan kedua jenis varian sate di atas.
Daging segar dimasukkan dalan drum besar berisi air dan direbus dua kali agar lunak menggunakan drum dan air yang berbeda. Daging diiris-iris dan dilumuri dengan bumbu dan rempah-rempah. Sementara air rebusan digunakan sebagai kuah kaldu, bahan membuat kuah sate. Lalu kuah kaldu ini dicampur dengan 19 macam bumbu rempah-rempah yang telah dihaluskan (bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan serai) dicampur dengan berbagai macam cabai. Seluruh bumbu kemudian dijadikan satu dan dimasak selama 15 menit. Rempah-rempah inilah yang membuat rasa kuah sate menjadi kaya rasa yang melimpah.
Sate sendiri hanya dibakar saat dipesan, menggunakan arang dari tempurung kelapa. Dimakan dalam keadaan hangat, biasanya ditambah dengan keripik balado khas Minang. Beberapa penjual sate yang cukup dikenal oleh masyarakat Minang ataupun perantau di antaranya adalah Sate Mak Syukur Padang Panjang, Sate Dangung-Dangung, dan Sate KMS.
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Sate_Padang
Selesai menikmati kuliner khas Bukittinggi... kami sempat santai di sekitaran Jam Gadang... seperti biasa area Jam Gadang yang merupakan iKon Kota Bukittinmggi ini ramai dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara, tapi sepenglihatan saya sejak pertamakali ke tempat ini memang wisatawan di dominasi oleh wisatawan Domestik, tapi saya juga belum pastikan dari data Dinas Pariwisata tentang berapa jumlah wisatawan Mancanegara yang berkunjung ke Bukittinggi ini setiap tahun nya.
Jam Gadang
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik pada hari kerja maupun pada hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Struktur Jam Gadang
Ukuran dasar bangunan Jam Gadang yaitu 6,5 x 6,5 meter, ditambah dengan ukuran dasar tangga selebar 4 meter, sehingga ukuran dasar bangunan keseluruhan 6,5 x 10,5 meter.[1] Bagian dalam menara jam setinggi 36 meter, ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris.[butuh rujukan] Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur dan pasir.
Sejarah Jam Gadang
Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Jazid Radjo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Atap Jam Gadang mengikuti zaman pemerintahannya.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.
Pada Juli 2018, kawasan Jam Gadang direvitalisasi oleh pemerintah. Pengerjaannya memakan biaya Rp18 miliar dan rampung pada Februari 2019
Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Jam_Gadang
beberapa saat kemudian kita mulai ngantuk dan akhirnya sama2 kita berjalan kaki menuju Hotel kembali untuk ber istirahat...
Sesampainya di kamar Hotel, 2 cibul pun langsung teler kangen2an sama kasur bantal & Guling.....
Tidur lelap setelah bertualang seharian penuh ke Kelok 9 dan Harau Valley....
Walau cuma dapat 2 destinasi wisata tapi hati kami puas ....
Karena kami selalu ingat : Bukan Tujuan nya, Yang Penting Perjalanan nya ...
Demikian cerita Perjalanan Jelajah satu Pulau Sumatera Etape Kota Bukittinggi ini...
Masih ada etpe selanjutnya Esok hari yaitu :
Bukittinggi menuju ke Padang ...
Bagaimana keseruan nya...?
Perjalanan dari Kota Bukittinggi menuju Kota Padang sih sbenar nya biasa saja...
Untuk menempuhnya hanya membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam via Padang Panjang..
Jadi biasa2 saja kan...? Singkat, cepat, dan rasanya tidak terlalu lama...
Tapi apa yang kami alami esok hari, tidak pernah terbayangkan sama sekali sebelumnya
Kami start jam 8 pagi dari Kota Bukittinggi..... baru tiba di Kota Padang jam 9 malam...
Ada apa..??
Hehehe... tunggu kelanjutan cerita saya selanjutnya..............
