VanzMatic wrote:Just intermezzo yaa...
imsus2c wrote:
- Proses pembuatan bbm bio, sedikit banyak masih melibatkan bbm fossil, atau dalam proses manufakturingnya, masih fossil-fuel dependant
- Secara teori, cara mendapatkan bahan bakunya berpotensi merusak lingkungan, agak aneh memang tapi begitulah kenyataannya…contohnya, jika ethanol didapat dari tebu/jagung, yg tentunya ribuan hektar, kalo kurang lahan, biasanya didapat dengan membuka lahan baru (misalnya babat hutan), belum lagi sumber daya air bersih yang disedot untuk irigasi, kemudian pemakaian pupuk2 kimia untuk menggenjot kesuburan dan produksinya
- Secara alami, bahan-bahan tersebut juga makanan manusia kan? Jangan sampai nanti manusia dan mobil rebutan makanan…

sudah pernah saya tulis di thread lain, beberapa waktu lalu di amerika, harga kedelai dan jagung melonjak tinggi, karena diborong perusahaan minyak…ya jadinya harga makanan jadi mahal…belum lagi resiko gagal panen akibat perubahan cuaca
Apalagi untuk teknologi saat ini, kandungan energy bio ini masih dibawah fossil fuel, jadi quantity does matter
Jadi bukannya anti bahan bakar tanaman (biofuel diatas E20) tapi mencoba melihatnya dari perspektif yang berbeda

Mod imsus, isu itu benar, apabila dilakukan di Amerika Utara maupun Eropa. Karena apa? Karena disana engga bakal produktif kalo ditanam CPO. Disana yang cocok memang biofuel bahan jagung dan kedelai. Saya engga menuduh, tapi propaganda yang salah alamat lah yang saya sayangkan. Propaganda atau pun isu biofuel dibikin jadi negatif, karena :
1. CPO hanya cocok ditanam di negara tropis. Berterimakasih lah pada Tuhan, Negara Asia Tenggara lah sebagai pengekspor terbesar hasil CPO. Harga yang sangat bersaing, produktifitasnya yang tinggi, mampu mengalahkan kedelai dan jagung. Hasil produksi minyak kedelai hanya 10% per hektar dibanding hasil CPO per hektar. Wajar kalau minyak kedelai jadi 3x lbh mahal di pasaran. Dan masa tanam sawit sampai 25 / 30thn. Masa produktif emas adalah usia sawit 5 thn sampai 15 thn. Dan harga CPO sangat ditpoang oleh minyak mentah dunia dan harga minyak kedelai. Leverage inilah yang engga dimiliki minyak kedelai/ soya.
http://investasi.kontan.co.id/v2/read/1 ... -melambung
2. Tebu juga sangat cocok di Negara2 tropikal. Dan sudah terbukti, di Brazil menggunakan BBM dengan campuran tetes tebu. Nih, kita udah kalah set dari Brazil yang berhasil dengan tetes tebu sebagai campuran untuk biofuelnya. Jangan sampai kita kalah set lagi dengan sawit kita!
http://www.republika.co.id/berita/trend ... ejuk-iklim
Pantes aja negara2 barat jadi kebakaran jenggot. Mereka mau ngelawan dengan menanam sawit di Amerika dan Eropa? Bisa tumbuh sih, tapi ngga produktif. Makanya mereka menggonjang-ganjingkan kita di Asia Tenggara dengan isu deforestrasi-lah, orang utan-lah, polusi proses pengangkutan sawit-lah...
Loh, memangnya pemrotes2 itu bergerak pakai kereta angin alias sepeda yang nggenjot?? Kapal2 buat mereka protes, perjalanan mereka pakai pesawat, transpor mereka pakai mobil, bukannya pakai bbm fossil??
Jangan2 pemrotes itu adalah pemilik sumur2 minyak yang terganggu dengan bahan bakar terbarukan?
Saya juga bukan berjargon, tapi kami hanya mencoba berkarya sambil mengingatkan saja, menghemat (bukan menyelamatkan) BBM fossil di Indonesia yang tinggal sampai 18 tahun ke depan, dengan menggerakkan potensi tanah kita yang subur untuk sawit sebagai biofuel.
Jangan kalah dengan Malaysia!
http://investasi.kontan.co.id/v2/read/i ... li-melejit
Oke, BTT yuk!
Netral aja ya…
Propaganda negative biofuel, bukan hanya menyangkut secara spesifik untuk produk CPO aja kok, tapi semuanya (selama tanaman itu adalah juga tanaman pangan manusia). Yg di Amerika pun mulai protes, plant for food, not fuel…akibat banyak lahan jagung/kedelai yg hasilnya justru disetor ke kilang minyak
Saya kira, mungkin maksudnya juga bukan “propaganda negativeâ€Â, mungkin maksudnya supaya lebih mendalam kajiannya, dalam rangka mencari pengganti/alternative bbm fossil karena memang persediaan bbm fossil ini sudah kritis.
Memang sawit (sumber CPO) secara teori tumbuh di negara tropis, tapi untuk mendapatkannya dalam jumlah massif, banyak hal (kalau boleh dikatakan negative) harus dilakukan, misalnya land-clearance, watering, dsb…
Jadi, kalaupun harus dilakukan (hal-hal yg negative tadi), sebaiknya tujuan (moralnya) adalah how to make it worth it on man’s meal plate, and not on machine’s tank, ...paham kan maksud saya?
Untuk konteks negara kita, secara pribadi, pembukaan lading pertanian, saya lebih suka jika prioritasnya untuk food security (ketahanan & swasembada pangan) dulu. Kaitannya dgn CPO, seperti kita ketahui, CPO adalah bahan baku minyak goreng/minyak sayur. Sering dulu (bahkan mgkn sekarang) ada berita pemerintah musti operasi pasar untuk turunin harga minyak goreng

Tebu, bolehlah…jika kita “kelebihan tebu/gulaâ€Â, kalo kita sudah surplus tebu, silakan sisanya dialokasikan bikin ethanol. Lha kita aja gula masih sering import.
Jangankan tebu, boleh percaya boleh enggak (contoh tdk berkaitan dengan pangan dan minyak), beberapa negara amerika latin (misalnya Brazil dan Uruguay) bisa menjual kayu Jati jauh lebih murah dibanding Perhutani, dilengkapi dengan sertifikat eco-labeling dan sustainable padahal mereka import bijinya dari Myanmar dan Indonesia karena jati bukan tanaman native/asli dari sana
Sejatinya, saya sangat setuju segera harus cari alternative bbm fossil. Saya dulu pernah tulis di SM (mengingatkan supaya kita hemat BBM) di:
http://www.serayamotor.com/diskusi/view ... =34&t=8824
Opini pribadi, saya tdk mempermasalahkan CPO atau bbm nabati sebagai alternative, tapi menurut saya, alternative tersebut jangan sampai menimbulkan conflict of interest dengan kebutuhan dasar manusia, contohnya food v.s. fuel, apalagi di negara yg ketahanan pangannya (dan ekonominya) aja masih pas-pas an.
Untuk Indonesia, jika kebutuhan pangan kita sudah surplus dan murah, silakan sisanya dialokasikan misalnya untuk biofuel ini, ga cuma untuk keperluan domestic, kalo perlu sekalian di-eksport.
Seingat saya, dulu pernah digagas oleh (mantan) mentamben, Purnomo Yusgiantoro, untuk mengoptimalkan penanaman pohon jarak sebagai bahan biodiesel (minyak biji jarak). Secara pribadi, saya salut ide ini, secara buah jarak bukan komoditas pangan manusia, dan bisa dikembangkan di lahan kritis yg artinya tidak mengorbankan lahan subur untuk tanaman pangan manusia atau harus “buka lahanâ€Â. Tapi entah kenapa sekarang kok ga kedengaran lagi beritanya.
Lebih baik, alternative yg memang sebaiknya tdk berkaitan langsung dengan makanan. Misalnya hydrogen (ini sih conflict of cost/technology) atau listrik, selama pengadaan listriknya juga tidak fossil fuel dependant (misalnya dari tenaga air, angin atau malah nuklir)