2023 Honda CR-V 1.5 Turbo CVT (RS1) Short Drive
Posted: Sat Sep 02, 2023 17:41
Mengapa ada mobil dijual mahal laku ?
Mungkin ini adalah pertanyaan terbesar dari warganet otomotif jika melihat bagaimana PT. HPM memasang harga. Selalu lebih mahal dari kompetitor, tapi selalu laku. Tentu ada flop seperti BR-V dan Mobilio, lalu City Hatchback yang kurang berhasil di pasaran. Tapi ketiga produk ini dari awal emang tidak intended untuk jadi volume maker.
Mobilio hanya memanfaatkan program insentif LCGC berbasis Brio sehingga partnya kanibal sana-sini, City Hatchback modelnya kurang diterima orang sini dan tentu saja kalau liat pesaing terdekatnya, Yaris, memang pasar ini sekarang kurang diminati apalagi karena harganya dekat dengan jagoan HPM yang lain : HR-V.
BR-V mungkin yang agak salah perhitungan, tapi ia hanya jadi intro product untuk introduksi teknologi Honda Sensing secara massal. Dan sebenarnya kalau ngomong tidak laku, prestasinya tidak terlalu buruk walau harus dibantu diskon fantastis sejak BR-V generasi pertama.
Sederhananya, orang Indonesia kebanyakan, saat memilih mobil, mayoritas memang tidak seperti “youtuber otomotif” yang mengamati satu demi satu fitur. Bagi orang Indonesia kebanyakan, punya mobil saja itu sudah mewah.
Dan satu hal yang penting dari sebuah barang mewah, ya anda tidak salah : BRAND.
Mengapa ciwi ciwi suka dengan tas GUCCI atau LV, mengapa banyak yang demen jam Patek Phillipe, atau ya kalau mobil mewah, mengapa top of mind selalu BMW dan Mercedes-Benz, padahal spek BMW dan Mercedes-Benz entry level itu tidak lebih bagus dari Mazda.
Sederhananya, khususnya Honda, dari dulu sudah punya status sosial lebih tinggi dari Toyota. Pernah mendapat julukan prestisius “BMW of the east” karena pengalaman berkendaranya, “Mercy Jepang” karena lebih mewah dari Kijang yang jadi mobil sejuta umat dan pembelinya jelas bukan kalangan biasa-biasa aja.
Suka nggak suka kita memandang Honda sebagai brand yang “biasa aja” - hanya brand saingan Toyota urusan duopoli pasar, tapi dari sisi branding, Honda sudah berhasil menggaet hati middle-up class Indonesia.
Makanya sebenarnya tidak terlalu mengagetkan kalau CR-V generasi 6 (RS) sudah kadung mendapat hati di masyarakat Indonesia. 740 juta - 800 juta rupiah OTR, tapi mobil ini di introduction nya sudah terjual lebih dari 800 unit. Anggaplah itu FOMO, normal sales nya masih bisa 300 - 400 prediksi saya.
Bahkan saya datang ke event peluncuran tadi saja tetap banyak yang lihat padahal sudah mahal. Salesperson yang nemenin saya udah dapet 1 SPK Hybrid.
Mengapa CR-V ?
Kisah sukses CR-V di Indonesia jelas sebenarnya dimulai dari CR-V RE (gen 3, gen 1 dan 2 nggak terlalu ngehits seperti gen 3).
Mobil yang berhasil mengangkat nama CR-V jadi desirable, “kendaraan wajib” yang harus ada di rumah - rumah orang middle-up.
Saya ingat dulu hampir semua kenalan saya punya CR-V gen 3. Bahkan yang spec CBU via importir pun sering kelihatan. Lawan CR-V gen 3 saat itu adalah X-Trail T30, dan kemunculannya bikin T30 gantian ketar - ketir setelah beberapa tahun sebelumnya ngehajar pasar CR-V cukup serius karena ujug - ujug muncul dengan mesin 2.500cc yang powerful. Agak nggak biasa karena orang Indonesia suka alergi cc besar, ini yang laku cc besar.
Honda dengan jenius menambahkan 1 hal yang tidak ada di X-Trail : kemewahan.
CR-V dianggap lebih punya karakter sedan - yang disukai orang - orang kaya. Exteriornya mewah, curvy, nggak kotak - kotak kayak jip, trim interiornya mewah, kabinnya luas, dan tinggi jadi bisa dipake buat meninjau proyek. Tenaganya kenceng dan halus walau gak hemat bbm dan bantingannya kayak gerobak. Tapi memang CR-V gen 3 sudah seperti mobil yang identik dengan status sosial tinggi.
So, di tahun - tahun selanjutnya kisah ini jelas berlanjut : CR-V menjadi wagon tinggi favorit orang Indonesia karena image mewah - sebelum Fortuner banyak dipake pejabat dan dieselnya baru ada transmisi manual - itupun lelet dan belum ngetrend cumi-cumi, dulu kalau ada Fortuner cumi-cumi ya artinya filter solar kotor.
Ditambah, lahirnya HR-V di 2015 membuat Honda tidak ragu menaikkan kelas CR-V jadi “mobil mewah”. HR-V sendiri dengan tambahan formula lagi : irit BBM, jadi mobil yang lebih ngehits sampai sekarang. Yang lebih kaya - family oriented, belinya CR-V. HR-V biasa jadi mobil anaknya atau istrinya. Tentu saja senang karena sisa uang bensin bisa buat ngopi cantik.
Makanya, nggak terlalu mengagetkan kenapa CR-V dijual mahal laku - pasarnya sudah terbentuk lama. Bertanyalah sama direktur marketing HPM gimana caranya jual barang mahal tapi laku, gimana pertahankan loyalitas konsumen - karena ini juga ciri khas luxury item : punya konsumen loyal.
Ya tentu saja termasuk saya konsumen loyalnya, sampe ada 4 biji Honda di garasi.
Lalu pernyataan klasik warganet :
“Orang Indonesia beli mobil “cuma” karena brand dan harga jual kembali, jadi belinya Honda dan Toyota”
Maka pernyataan ini sebenarnya perlu diuji : benar tidak Honda CR-V itu hanya jual brand dan resale value ? Apa berarti produknya tidak berkualitas sama sekali ? Lakunya jelas karena brand name kuat, tapi kalau absennya fitur tertentu lantas mobil dibilang jelek - kayaknya nggak valid juga.
So, daripada kepanjangan kita lihat saja lah apa yang bisa kita dapetin di mobil 740 juta - 800 juta OTR ini.
Same proportions, different lines
First and foremost, CR-V gen 6 berkode RS (iya, kodenya RS bukan trimlevel, walau tipe Hybrid diberi nama RS juga), dibangun (masih) dari basis yang sama dengan RW (generasi 5) alias CR-V turbo lama. Sama seperti Civic FE yang masih dibangun dari basis sama dengan FC / FK.
Model exteriornya seperti Honda - Honda masa kini - didominasi clean lines, tapi dominan aksen mengotak. Secara sekilas terlihat lebih ramping dari RW yang banyak lekukan - lekukan yang bikin mobilnya terkesan lebar padahal kalo dijejerin Innova Reborn kayak hatchback.
Padahal proporsi kedua mobil ini (CR-V RW dan RS) sebenarnya mirip. Tarikan garisnya mirip, hanya dibuat lebih tegas. Saya sangat familiar dengan terutama bagian belakang yang kalau dideketin vibes nya RW sekali : agak gepeng. Hanya tersamarkan dengan bentuk lampu mengotaknya.
Ban menggunakan 19 inch 235/55/19, dan karena ini buatan Thailand jadi seringnya suka dapet ban - ban lucu : Michelin Latitude Sport 3. mengisi padat ruang roda dan offset rodanya lebih rata dengan fender seperti BR-V, jadi tampilannya nggak “celup” kayak RE, RM, atau RW.
Intinya ini adalah RW yang dibuat lebih sporty. Tapi saya lebih prefer tampilan yang ini karena RW modelnya terlalu kalem.
A not so perfect blend of old and new...
Masuk ke interior, lebih terasa lagi isinya adalah RW yang dipakein dashboard Civic FE. Pertama duduk saja sudah familiar sebagai pengguna RW.
Konsol tengah, jok, kursi tengah, kursi belakang, termasuk extension bagasi supaya bagasinya rata yang bikin bunyi2 gak perlu itu masih ada.
Hanya interiornya improving di bagian AC belakang yang lebih proper di sisi kanan - kiri pilar walau masih di belakang kepala, lalu ada airvent tengah. Build quality juga sekilas lebih baik daripada RW. Konsol tengahnya nggak lagi goyang - goyang, feel kabinnya nggak plasticky kayak RW. Intinya peningkatan di sisi fit and finishnya lebih baik jauh.
Peletakan panel - panel pintu masih mirip dengan RW.
Legroom, headroom, masih 100% sama. Ruang kepala juga sama minimnya cuma sisa 5 jari ke atas.
Lalu yang agak malesin itu “jeblakin” baris keduanya masih susah seperti RW, dan tadi letak slider joknya juga kurang intuitif. Sampai saya dan salesnya sama - sama bingung gimana mundurin jok tengah. Ternyata ada di sisi dekat pintu ada panel plastik bisa ditarik. Tumben sekali Honda bikin desain kurang intuitif gini.
Sebagai user RW overall interiornya rada ngebosenin. Walau nggak jelek juga sih.
Familiar, but Different.
Lalu kebetulan dapet sales yang cukup komunikatif dan enak diajak ngobrol, doi inisiatif nawarin test drive. Saya sebenernya gak nyangka aja karena event launching biasa pelit kalaupun boleh cuma muter mall.
Ini malah “udah gpp ko kalo mau di explore keluar area dikit sikaat lah bawa aja muter-muter”.
Oh tentu saja gayung bersambut. Rasa penasaran makin memuncak. Apalagi kalaupun saya mau upgrade CR-V RW ya pastinya ke CR-V lagi.
Unit test adalah tipe 1.5 turbo dan sebenernya saya juga gak terlalu excited dengan tipe Hybrid. Males urusan per batrean. Sebagai kaum pedal to the kampret saya masih konvensional mikir tipe turbo lebih bisa dinaikin tenaganya lebih via remapping. Masih dengan 1.5L L15BE bertenaga 190 HP / 243 Nm.
Mulai start mobil saya rasanya kayak bawa mobil sendiri. Udah familiar dengan operasional dan interior, hanya beda di memory seat aja. Tapi pertama set posisi duduk, saya ngerasa aneh kok perseneling jauh amat. Konsol tengah mobil ini besar dan persenelingnya jauh malah arahnya ke passenger. Kalau di RW kan tuasnya di dasbor.
Improvement di mesin ? NVH nya sekilas agak membaik. Mungkin ditambah peredam firewall. Karena di RW saya rasanya suara mesin bocor banget ke kabin. Apalagi pas cold start dan pedal to the kampret.
Power mesinnya …. nggak valid sih sebenernya karena selama hidupnya RW saya ngisinya turbo terus cuma 1x pertamax dan itu saja saya kapok. Perbedaan tenaga ngisi pertamax dan turbo di 1.5T Honda ini terasa banget biarpun standar. Tapi feel saya selain bensin isi RON92, gearing mobil ini lebih panjang, bikin at times rasanya kok lebih pelan ya. 0-100 mungkin tidak bakal sebaik RW tapi top speed mungkin panjangan RS. Gampang lah ini, remapping will do.
NVH kaki - kaki feelnya seperti RW, feel bantingan mirip, per pendek tapi sebelum kena stopper dia kayak diredam lagi jadi rasa yang kita dapet lembut. Yang artinya lebih baik dari RW, karena mobil ini pakai velg 19”. road noise tidak terlalu berisik mungkin karena ban Michelin nya.
Yang saya suka lagi : Honda Sensingnya tidak terlalu intrusif. Selama perjalanan tidak ada beeping sound berisik yang saya benci dari mobil - mobil zaman sekarang.
Tadinya saya mikir bawa mobil ini rasanya nggak beda sama RW…. tapi sayangnya semuanya patah waktu saja ketemu roundabout dan iseng ah, ngepush mobil ini sampe ke limit gripnya. Masuk pelan lalu ane tambahin gas dan tekuk perlahan perlahan sampe ketemu limitnya. Dan ini yang membuat experience bawanya beda dengan RW : handling.
Di RW, kalau kita tekuk seperti itu minimal saya sudah ilang kepercayaan diri karena pantatnya mau geser dan bodyrollnya cukup besar - walau sebenernya ban masih gigit. Tapi di RS, terasa sekali improvement di rigiditas sasis - yang selalu dibanggakan Honda setiap muncul varian barunya.
Mobil ini rasanya lebih rigid - lebih minim ngebuang ketika nikung, bodyrollnya lebih minim. Iya, mungkin nggak relevan tesnya untuk mobil wagon tinggi, tapi kalau anda punya supir kayak saya rasanya perlu mobil dites gini karena artinya stability mobil ini meningkat. Dulu keluhan orang dari RM ke RW adalah rasanya pake RW itu limbung. Dan RS menyempurnakan itu. Saya pikir gila juga Honda, SUV 1.6 ton nikungnya seenak ini. Belum feedback setir yang slightly better untuk EPS modern - di RW rasanya setir itu kelewat ringan.
Sengaja belum saya mention bahwa dari awal driving di mobil ini saya merasa familiar - di sisi lain ada yang beda tapi saya blom nemu. Dari awal saya cari - cari apa yah yang beda. Kok mobil rasanya lebih enteng, lebih lincah, apa perasaan aja. Orang bodynya mirip. Kirain efek kap mesin yang rata jadi blindspot lebih minim. Tapi ternyata tidak.
Setelah dari tikungan itu, kepingan puzzle terakhir saya terpecahkan. Improvement terbesar Honda di CR-V RS adalah sasisnya. Nggak seksi, nggak keliatan, nggak bisa dipamerin ke warganet otomotif kang mendang-mending apalagi kalau di In depth tour nggak bisa ditunjukin juga. Juga buat mayoritas jelas nggak relevan karena nggak semua punya supir gila.
Tapi improvement di sasis selalu berbuah manis untuk crash test. Jadi, mobil ini tetap dinilai sebagai salah satu yang safest di muka bumi. So bolehlah kita bilang value terbesar CR-V baru ini adalah peningkatan safety nya.
Price - Justified ?
Harga ini terdengar sangat mahal. Sampai saya nulis saja saya masih pait liat harganya. Saya masih berharap ada type CR-V Turbo 1.5 basic, non Sensing, dengan harga 50 juta lebih murah saja.
Tapi sekali lagi : tujuan intro saya cerita tentang luxury brand adalah bagaimana branding “mobil mewah” di CR-V ini sudah terbentuk. jadi jika mereka bisa pasang harga segitu - dan kejual banyak, artinya konsumen memang sudah percaya branding Honda CR-V, dan walau nggak menonjol tapi CR-V bukan mobil jelek yang jelas. Minim fitur sana - sini tapi consideration pembelinya jelas bukan fitur. Artinya dengan harga segitu, kualitasnya juga masih “acceptable”.
Dan kalau mau protes, orang bangun brand name itu juga tidak sehari semalem. Kasusnya sama seperti Innova Zenix yang 600 juta tapi ya tetap dibeli, dan skrg lihat Zenix udah seperti kacang goreng. CR-V pun kurang lebihnya seperti itu.
Dan sayangnya di range 700 juta - an emang tidak ada lawan kuat untuk CR-V. Rata - rata sudah end of model cycle. Jika konsumen cari yang fresh, pasti larinya ke CR-V.
Mungkin ini adalah pertanyaan terbesar dari warganet otomotif jika melihat bagaimana PT. HPM memasang harga. Selalu lebih mahal dari kompetitor, tapi selalu laku. Tentu ada flop seperti BR-V dan Mobilio, lalu City Hatchback yang kurang berhasil di pasaran. Tapi ketiga produk ini dari awal emang tidak intended untuk jadi volume maker.
Mobilio hanya memanfaatkan program insentif LCGC berbasis Brio sehingga partnya kanibal sana-sini, City Hatchback modelnya kurang diterima orang sini dan tentu saja kalau liat pesaing terdekatnya, Yaris, memang pasar ini sekarang kurang diminati apalagi karena harganya dekat dengan jagoan HPM yang lain : HR-V.
BR-V mungkin yang agak salah perhitungan, tapi ia hanya jadi intro product untuk introduksi teknologi Honda Sensing secara massal. Dan sebenarnya kalau ngomong tidak laku, prestasinya tidak terlalu buruk walau harus dibantu diskon fantastis sejak BR-V generasi pertama.
Sederhananya, orang Indonesia kebanyakan, saat memilih mobil, mayoritas memang tidak seperti “youtuber otomotif” yang mengamati satu demi satu fitur. Bagi orang Indonesia kebanyakan, punya mobil saja itu sudah mewah.
Dan satu hal yang penting dari sebuah barang mewah, ya anda tidak salah : BRAND.
Mengapa ciwi ciwi suka dengan tas GUCCI atau LV, mengapa banyak yang demen jam Patek Phillipe, atau ya kalau mobil mewah, mengapa top of mind selalu BMW dan Mercedes-Benz, padahal spek BMW dan Mercedes-Benz entry level itu tidak lebih bagus dari Mazda.
Sederhananya, khususnya Honda, dari dulu sudah punya status sosial lebih tinggi dari Toyota. Pernah mendapat julukan prestisius “BMW of the east” karena pengalaman berkendaranya, “Mercy Jepang” karena lebih mewah dari Kijang yang jadi mobil sejuta umat dan pembelinya jelas bukan kalangan biasa-biasa aja.
Suka nggak suka kita memandang Honda sebagai brand yang “biasa aja” - hanya brand saingan Toyota urusan duopoli pasar, tapi dari sisi branding, Honda sudah berhasil menggaet hati middle-up class Indonesia.
Makanya sebenarnya tidak terlalu mengagetkan kalau CR-V generasi 6 (RS) sudah kadung mendapat hati di masyarakat Indonesia. 740 juta - 800 juta rupiah OTR, tapi mobil ini di introduction nya sudah terjual lebih dari 800 unit. Anggaplah itu FOMO, normal sales nya masih bisa 300 - 400 prediksi saya.
Bahkan saya datang ke event peluncuran tadi saja tetap banyak yang lihat padahal sudah mahal. Salesperson yang nemenin saya udah dapet 1 SPK Hybrid.
Mengapa CR-V ?
Kisah sukses CR-V di Indonesia jelas sebenarnya dimulai dari CR-V RE (gen 3, gen 1 dan 2 nggak terlalu ngehits seperti gen 3).
Mobil yang berhasil mengangkat nama CR-V jadi desirable, “kendaraan wajib” yang harus ada di rumah - rumah orang middle-up.
Saya ingat dulu hampir semua kenalan saya punya CR-V gen 3. Bahkan yang spec CBU via importir pun sering kelihatan. Lawan CR-V gen 3 saat itu adalah X-Trail T30, dan kemunculannya bikin T30 gantian ketar - ketir setelah beberapa tahun sebelumnya ngehajar pasar CR-V cukup serius karena ujug - ujug muncul dengan mesin 2.500cc yang powerful. Agak nggak biasa karena orang Indonesia suka alergi cc besar, ini yang laku cc besar.
Honda dengan jenius menambahkan 1 hal yang tidak ada di X-Trail : kemewahan.
CR-V dianggap lebih punya karakter sedan - yang disukai orang - orang kaya. Exteriornya mewah, curvy, nggak kotak - kotak kayak jip, trim interiornya mewah, kabinnya luas, dan tinggi jadi bisa dipake buat meninjau proyek. Tenaganya kenceng dan halus walau gak hemat bbm dan bantingannya kayak gerobak. Tapi memang CR-V gen 3 sudah seperti mobil yang identik dengan status sosial tinggi.
So, di tahun - tahun selanjutnya kisah ini jelas berlanjut : CR-V menjadi wagon tinggi favorit orang Indonesia karena image mewah - sebelum Fortuner banyak dipake pejabat dan dieselnya baru ada transmisi manual - itupun lelet dan belum ngetrend cumi-cumi, dulu kalau ada Fortuner cumi-cumi ya artinya filter solar kotor.
Ditambah, lahirnya HR-V di 2015 membuat Honda tidak ragu menaikkan kelas CR-V jadi “mobil mewah”. HR-V sendiri dengan tambahan formula lagi : irit BBM, jadi mobil yang lebih ngehits sampai sekarang. Yang lebih kaya - family oriented, belinya CR-V. HR-V biasa jadi mobil anaknya atau istrinya. Tentu saja senang karena sisa uang bensin bisa buat ngopi cantik.
Makanya, nggak terlalu mengagetkan kenapa CR-V dijual mahal laku - pasarnya sudah terbentuk lama. Bertanyalah sama direktur marketing HPM gimana caranya jual barang mahal tapi laku, gimana pertahankan loyalitas konsumen - karena ini juga ciri khas luxury item : punya konsumen loyal.
Ya tentu saja termasuk saya konsumen loyalnya, sampe ada 4 biji Honda di garasi.
Lalu pernyataan klasik warganet :
“Orang Indonesia beli mobil “cuma” karena brand dan harga jual kembali, jadi belinya Honda dan Toyota”
Maka pernyataan ini sebenarnya perlu diuji : benar tidak Honda CR-V itu hanya jual brand dan resale value ? Apa berarti produknya tidak berkualitas sama sekali ? Lakunya jelas karena brand name kuat, tapi kalau absennya fitur tertentu lantas mobil dibilang jelek - kayaknya nggak valid juga.
So, daripada kepanjangan kita lihat saja lah apa yang bisa kita dapetin di mobil 740 juta - 800 juta OTR ini.
Same proportions, different lines
First and foremost, CR-V gen 6 berkode RS (iya, kodenya RS bukan trimlevel, walau tipe Hybrid diberi nama RS juga), dibangun (masih) dari basis yang sama dengan RW (generasi 5) alias CR-V turbo lama. Sama seperti Civic FE yang masih dibangun dari basis sama dengan FC / FK.
Model exteriornya seperti Honda - Honda masa kini - didominasi clean lines, tapi dominan aksen mengotak. Secara sekilas terlihat lebih ramping dari RW yang banyak lekukan - lekukan yang bikin mobilnya terkesan lebar padahal kalo dijejerin Innova Reborn kayak hatchback.
Padahal proporsi kedua mobil ini (CR-V RW dan RS) sebenarnya mirip. Tarikan garisnya mirip, hanya dibuat lebih tegas. Saya sangat familiar dengan terutama bagian belakang yang kalau dideketin vibes nya RW sekali : agak gepeng. Hanya tersamarkan dengan bentuk lampu mengotaknya.
Ban menggunakan 19 inch 235/55/19, dan karena ini buatan Thailand jadi seringnya suka dapet ban - ban lucu : Michelin Latitude Sport 3. mengisi padat ruang roda dan offset rodanya lebih rata dengan fender seperti BR-V, jadi tampilannya nggak “celup” kayak RE, RM, atau RW.
Intinya ini adalah RW yang dibuat lebih sporty. Tapi saya lebih prefer tampilan yang ini karena RW modelnya terlalu kalem.
A not so perfect blend of old and new...
Masuk ke interior, lebih terasa lagi isinya adalah RW yang dipakein dashboard Civic FE. Pertama duduk saja sudah familiar sebagai pengguna RW.
Konsol tengah, jok, kursi tengah, kursi belakang, termasuk extension bagasi supaya bagasinya rata yang bikin bunyi2 gak perlu itu masih ada.
Hanya interiornya improving di bagian AC belakang yang lebih proper di sisi kanan - kiri pilar walau masih di belakang kepala, lalu ada airvent tengah. Build quality juga sekilas lebih baik daripada RW. Konsol tengahnya nggak lagi goyang - goyang, feel kabinnya nggak plasticky kayak RW. Intinya peningkatan di sisi fit and finishnya lebih baik jauh.
Peletakan panel - panel pintu masih mirip dengan RW.
Legroom, headroom, masih 100% sama. Ruang kepala juga sama minimnya cuma sisa 5 jari ke atas.
Lalu yang agak malesin itu “jeblakin” baris keduanya masih susah seperti RW, dan tadi letak slider joknya juga kurang intuitif. Sampai saya dan salesnya sama - sama bingung gimana mundurin jok tengah. Ternyata ada di sisi dekat pintu ada panel plastik bisa ditarik. Tumben sekali Honda bikin desain kurang intuitif gini.
Sebagai user RW overall interiornya rada ngebosenin. Walau nggak jelek juga sih.
Familiar, but Different.
Lalu kebetulan dapet sales yang cukup komunikatif dan enak diajak ngobrol, doi inisiatif nawarin test drive. Saya sebenernya gak nyangka aja karena event launching biasa pelit kalaupun boleh cuma muter mall.
Ini malah “udah gpp ko kalo mau di explore keluar area dikit sikaat lah bawa aja muter-muter”.
Oh tentu saja gayung bersambut. Rasa penasaran makin memuncak. Apalagi kalaupun saya mau upgrade CR-V RW ya pastinya ke CR-V lagi.
Unit test adalah tipe 1.5 turbo dan sebenernya saya juga gak terlalu excited dengan tipe Hybrid. Males urusan per batrean. Sebagai kaum pedal to the kampret saya masih konvensional mikir tipe turbo lebih bisa dinaikin tenaganya lebih via remapping. Masih dengan 1.5L L15BE bertenaga 190 HP / 243 Nm.
Mulai start mobil saya rasanya kayak bawa mobil sendiri. Udah familiar dengan operasional dan interior, hanya beda di memory seat aja. Tapi pertama set posisi duduk, saya ngerasa aneh kok perseneling jauh amat. Konsol tengah mobil ini besar dan persenelingnya jauh malah arahnya ke passenger. Kalau di RW kan tuasnya di dasbor.
Improvement di mesin ? NVH nya sekilas agak membaik. Mungkin ditambah peredam firewall. Karena di RW saya rasanya suara mesin bocor banget ke kabin. Apalagi pas cold start dan pedal to the kampret.
Power mesinnya …. nggak valid sih sebenernya karena selama hidupnya RW saya ngisinya turbo terus cuma 1x pertamax dan itu saja saya kapok. Perbedaan tenaga ngisi pertamax dan turbo di 1.5T Honda ini terasa banget biarpun standar. Tapi feel saya selain bensin isi RON92, gearing mobil ini lebih panjang, bikin at times rasanya kok lebih pelan ya. 0-100 mungkin tidak bakal sebaik RW tapi top speed mungkin panjangan RS. Gampang lah ini, remapping will do.
NVH kaki - kaki feelnya seperti RW, feel bantingan mirip, per pendek tapi sebelum kena stopper dia kayak diredam lagi jadi rasa yang kita dapet lembut. Yang artinya lebih baik dari RW, karena mobil ini pakai velg 19”. road noise tidak terlalu berisik mungkin karena ban Michelin nya.
Yang saya suka lagi : Honda Sensingnya tidak terlalu intrusif. Selama perjalanan tidak ada beeping sound berisik yang saya benci dari mobil - mobil zaman sekarang.
Tadinya saya mikir bawa mobil ini rasanya nggak beda sama RW…. tapi sayangnya semuanya patah waktu saja ketemu roundabout dan iseng ah, ngepush mobil ini sampe ke limit gripnya. Masuk pelan lalu ane tambahin gas dan tekuk perlahan perlahan sampe ketemu limitnya. Dan ini yang membuat experience bawanya beda dengan RW : handling.
Di RW, kalau kita tekuk seperti itu minimal saya sudah ilang kepercayaan diri karena pantatnya mau geser dan bodyrollnya cukup besar - walau sebenernya ban masih gigit. Tapi di RS, terasa sekali improvement di rigiditas sasis - yang selalu dibanggakan Honda setiap muncul varian barunya.
Mobil ini rasanya lebih rigid - lebih minim ngebuang ketika nikung, bodyrollnya lebih minim. Iya, mungkin nggak relevan tesnya untuk mobil wagon tinggi, tapi kalau anda punya supir kayak saya rasanya perlu mobil dites gini karena artinya stability mobil ini meningkat. Dulu keluhan orang dari RM ke RW adalah rasanya pake RW itu limbung. Dan RS menyempurnakan itu. Saya pikir gila juga Honda, SUV 1.6 ton nikungnya seenak ini. Belum feedback setir yang slightly better untuk EPS modern - di RW rasanya setir itu kelewat ringan.
Sengaja belum saya mention bahwa dari awal driving di mobil ini saya merasa familiar - di sisi lain ada yang beda tapi saya blom nemu. Dari awal saya cari - cari apa yah yang beda. Kok mobil rasanya lebih enteng, lebih lincah, apa perasaan aja. Orang bodynya mirip. Kirain efek kap mesin yang rata jadi blindspot lebih minim. Tapi ternyata tidak.
Setelah dari tikungan itu, kepingan puzzle terakhir saya terpecahkan. Improvement terbesar Honda di CR-V RS adalah sasisnya. Nggak seksi, nggak keliatan, nggak bisa dipamerin ke warganet otomotif kang mendang-mending apalagi kalau di In depth tour nggak bisa ditunjukin juga. Juga buat mayoritas jelas nggak relevan karena nggak semua punya supir gila.
Tapi improvement di sasis selalu berbuah manis untuk crash test. Jadi, mobil ini tetap dinilai sebagai salah satu yang safest di muka bumi. So bolehlah kita bilang value terbesar CR-V baru ini adalah peningkatan safety nya.
Price - Justified ?
Harga ini terdengar sangat mahal. Sampai saya nulis saja saya masih pait liat harganya. Saya masih berharap ada type CR-V Turbo 1.5 basic, non Sensing, dengan harga 50 juta lebih murah saja.
Tapi sekali lagi : tujuan intro saya cerita tentang luxury brand adalah bagaimana branding “mobil mewah” di CR-V ini sudah terbentuk. jadi jika mereka bisa pasang harga segitu - dan kejual banyak, artinya konsumen memang sudah percaya branding Honda CR-V, dan walau nggak menonjol tapi CR-V bukan mobil jelek yang jelas. Minim fitur sana - sini tapi consideration pembelinya jelas bukan fitur. Artinya dengan harga segitu, kualitasnya juga masih “acceptable”.
Dan kalau mau protes, orang bangun brand name itu juga tidak sehari semalem. Kasusnya sama seperti Innova Zenix yang 600 juta tapi ya tetap dibeli, dan skrg lihat Zenix udah seperti kacang goreng. CR-V pun kurang lebihnya seperti itu.
Dan sayangnya di range 700 juta - an emang tidak ada lawan kuat untuk CR-V. Rata - rata sudah end of model cycle. Jika konsumen cari yang fresh, pasti larinya ke CR-V.