Nah, kok bisa saya beli Chinese EV? So duduk yang nyaman, karena review ini akan panjang, karena berisi story perjalanan saya hingga memutuskan untuk pakai EV, riset dan hand's on yang saya lakukan sebelum membeli EV, dan tentu saja review mendalam dari mobil EV yang saya pilih.
CHAPTER 1 : Point of View
Seperti biasa, walaupun jarang ngepost di SM, tapi sesekali saya sering mampir untuk baca-baca thread, terutama kalau ada "Hot Thread" yang belakangan trigger-nya adalah topic tentang Chinese EV, yang biasanya akan diserang oleh para penghuni SM termasuk saya. Malangnya mobil-mobil jenis ini di SM seakan jadi antagonis, karena diserang sekampung, member yang pro maupun netral jadi takut atau malas menanggapi, sehingga tidak terjadi balance of opinion.
Namun karena saya biasa memandang segala hal tidak dari satu point of view, suatu ketika terbesit dipikiran saya..Jangan-jangan apa yang menurut saya jelek dan tidak saya sukai, itu karena saya memakai parameter atau standard yang selama ini menjadi pakem di kendaraan ICE, bukan EV. Karena dilain pihak, sampai detik ini mobil EV terus dikembangkan, walau belakangan boomingnya turun tapi secara global penjualannya terus meningkat. Karena yang terjadi adalah mundurnya beberapa pemain besar Eropa serta pemain kecil di Tiongkok yang kemudian marketnya diisi oleh pemain besar Tiongkok.
Meanwhile, Produsen mobil EV terus menghadirkan terobosan baru, seperti battery yang terus disempurnakan agar lebih efisien dan aman oleh produsen Tiongkok, sementara Hyundai berhasil menciptakan Ioniq 5N yang menghebohkan para petrolhead.
So dengan menjadi haters, saya sama aja dengan para generasi kolonial yang ignorant terhadap perkembangan teknologi baru, which is not wise as a car enthusiast. Dititik ini saya mulai melunak dan melihat perkembangan EV merupakan suatu hal yang bagus bagi industri otomotif secara general.
CHAPTER 2 : Financial Perspective Saya & Isteri adalah seorang Sales person yang punya mobilitas tinggi, dengan pemakaian mobil 70-100km per hari, range tersebut sedikit banyak juga dipengaruhi karena kami harus mengambil jalan memutar atau tambahan Toll untuk menghindari Ganjil-Genap. Isteri sebagai menteri keuangan sudah mengeluh pengeluaran bensin yang mencapai Rp.700 ribuan dan toll yang mencapai Rp.300 ribuan per minggu, dua item ini saja sudah membebani operasional hingga Rp.4 juta per bulan.
Ndilalah, ada teman kantor yang sudah pakai EV dan menceritakan betapa ringannya operasional dan pajak mobil EV dibanding ICE, sehingga selisihnya bisa dia invest di saham & emas secara rutin. Di titik ini Isteri saya yang mudeng, dia bilang “Pap, kayaknya kita udah harus pake mobil listrik deh”
Karena jiwa Petrolhead, saya langsung beberkan kelemahan utama dari EV yaitu "Resale Value" yang hancur. Tapi tak disangka Isteri saya bilang gini ;
“itu kalau keadaan baik-baik saja, gimana kalau mendadak terjadi kondisi buruk seperti omzet turun, resesi, company bankrupt, kena layoff/PHK, atau sakit keras yang bikin orang nggak bisa kerja dan berpenghasilan..?? Operasional ICE terlalu besar dan at some point we may lose our car karena harus dijual untuk nutupin biaya hidup & sekolah anak. Setidaknya klo pake mobil listrik, kita masih bisa maintain Cash Flow dari operasional yg murah dan punya lebih banyak emergency fund dari saving/invest atas selisih operasionalnya”
Well saya pun diem dan menerima logic-nya dia karena memang masuk akal, dan setelah saya inget-inget pengalaman gonta-ganti mobil ICE, jarang banget bisa jual dengan harga pasaran yang kita mau, apalagi bila jenisnya mobil kesukaan Petrolhead (Sedan), saya kena depresiasi 50% di Camry 3.5Q dan kena 65% di Accord CM5. Hal ini akan diperparah jika beli mobil ICE dengan skema kredit diatas 3 tahun, udahlah operasional gede, tambah cicilan, plus beban bunga yang jika ditotal sampai lunas nominalnya bisa puluhan hingga ratusan juta tergantung harga mobil dan interest rate. Intinya kalau mau ngomong resale value, beli mobilnya jangan kredit. So pengalaman boncos depresiasi/beban bunga di mobil Sedan membuat saya cukup siap menerima depresiasi EV.
Back to Point of View, kesimpulannya ICE car adalah mobil bagi orang-orang yang mem-value mobilnya sebagai Asset, sedangkan EV adalah mobil bagi orang-orang yang mem-value mobilnya sebagai instrumen untuk secure cash flow. Tidak ada yang salah, hanya beda perspektif
CHAPTER 3 : Research
Setelah melalui perhitungan financial yang panjang, ketemulah angka “Max Rp.500 juta” sebagai budget, pertama karena memang kemampuan finansial saya mentok segitu, kedua angka tersebut adalah sweet spot untuk Chinese EV, dimana kita bisa mendapatkan spek yang jauh lebih bagus dari EV <400 juta, plus dapat sebagian besar kelengkapan EV >600 jutaan. Dan ketiga, depresiasi nya tentu tidak akan sebesar EV 600 juta keatas.
So pilihan yang tersedia adalah :
Aion V
Aion Y Plus
BYD Atto 3
BYD Dolphin
BYD M6
Chery Omoda E5
Chery Omoda E5 Pure
Chery J6 RWD
MG4
MG ZS-EV
**Pada saat itu Geely EX5 belum masuk
Berdasarkan spek dan kebutuhan, saya saring menjadi :
Aion V
BYD Atto 3
Chery Omoda E5
Ketiga mobil inilah yg saya riset mendalam dan Test Drive masing2 sampe 2x. Oh iya at this point saya belum melirik J6. Simply karena saya nggak suka off road dan top speed nya cuma 150 kpj
DISCLAIMER, hasil penilaian ini mengacu pada kebutuhan saya, gaya nyetir saya, dan preferensi saya, it means poin minus di saya bisa jadi poin plus buat kebanyakan orang, bukan berarti mobilnya jelek. So ini adalah hasil riset berdasarkan penilaian pribadi saya :
Battery Capacity : Aion V
Electric Motor : Omoda E5
Fitur : Aion V
Ride Quality : Belum ada yang sreg, Aion V & Atto 3 terlalu empuk sampai ngayun kayak Innova, sedangkan Omoda E5 terlalu keras
Plus Minus Masing-masing :
Aion V :
+ Kualitas interior
+ Fitur
- Suspensi belakang masih Torsion Beam, belum idependen/multi link
- Bantingan terlalu empuk & ngayun
- Battery besar tapi konsumsi boros
BYD Atto 3 :
+ Nama besar, hampir semua orang indo tahu BYD
- Power delivery biasa aja
- Bantingan terlalu empuk
- Konsumsi battery boros
Chery Omoda E5
+ Power & Torque Delivery sangat baik dan responsif
+ Konsumsi listrik irit
+ Fitur
+ Harga bagus karena diskon besar
- Bantingan terlalu keras
- Handling agak canggung
Saya agak heran, Omoda yang pakai battery BYD bisa perform lebih baik dari sisi power delivery dan konsumsi listrik dibanding Atto 3, so Atto 3 yang paling pertama saya eliminasi.
Aion V hampir semua udah ok, tapi ada satu dealbreaker yaitu suspensi belakang yang masih pakai Torsion Beam, ini berasa banget saat saya test drive di kondisi jalan gelombang dan belok2. Balik ke prinsip awal, Chinese EV dengan harga mepet 500 mio tapi setup suspensi masih torsion beam is a big no for me.
Berdasarkan hasil diatas, tadinya udah bulet mau ambil Omoda E5 dan udah mau DP, tapi biar yakin saya minta test drive sekali lagi dimana saya push mobilnya sampe limit. Entah kenapa saya kurang sreg sama karakter suspensinya, harusnya suspensi keras bikin handling bagus, tapi pas saya tekuk limbung & body roll tetap berasa, body dan chassisnya seperti tidak menyatu dengan battery pack yang merupakan pusat bobot-nya sehingga bikin sensasi canggung dan aneh, bantingan keras tapi limbung, agak serem mengingat Omoda E5 ini powernya buas sekali. Mungkin hal ini dipengaruhi karena Omoda E5 secara rancang bangun bukan dibuat khusus untuk platform EV tapi merupakan konversi dari platform ICE.
Selesai TD dan masuk ke ruangan showroom untuk ttd DP, saya & isteri terpaku sejenak karena disitu ada J6 yang di display. Tiba-tiba isteri nyeletuk sambil nyamperin & buka pintu J6, ini mobil bagus banget ya modelnya, kok kamu nggak pernah kasih pilihan ini? Saya bilang mobil ini out of budget utk versi IWD, sedangkan yang RWD kita nggak dapet kemampuan off road yang menjadi keunggulan utamanya (disamping topspeed nya yang cuma 150 kpj)
Akhirnya saya & isteri minta test drive J6 RWD yang sesuai budget. Disitu terjadilah “Love at First Ride”, jujur saya kaget, “lho kok enak ya”,...selanjutnya tentang sensasi berkendara ada di bagian review..... karena isteri pun suka, akhirnya J6 menikung semua kandidat diujung dan terpilih untuk kita beli.
CHAPTER 4 : J6 Background
Lahir dengan nama iCar 03, dimana iCar merupakan sub-brand dari Chery yang seluruh lineup-nya dikembangkan dalam platform Electric Car (EV). Pertama kali ditampilkan pada Shanghai Motor Show tahun 2023 sebagai Electric Compact SUV dalam bentuk concept car, dan dalam beberapa bulan saja langsung diproduksi dan dipasarkan. Thailand merupakan negara ASEAN pertama yang memasarkan mobil ini dengan nama J6 namun dibawah Jaecoo pada Agustus 2024, sedangkan di Indonesia J6 mulai dipasarkan dibawah Chery pada bulan November 2024 di event Gaikindo Jakarta Auto Week (GJAW)
Model Boxy yang timeless serta kemampuan off road menjadi selling point utama dari mobil ini, terutama di Indonesia, padahal ada beberapa kelebihan lain yang tidak terlalu di highlight namun efeknya signifikan terhadap driveability dan safety yaitu penggunaan Aluminium Chassis & Aluminium Body Frame serta Battery Armor Plate yang tahan benturan dan ledakan yang membungkus battery pack-nya, saya sendiri baru tahu setelah lihat spesifikasi lengkap mobil ini.
CHAPTER 5 : Owning Review
EXTERIOR
Keputusan saya memilih J6 mengingatkan saya kepada statement Jeremy Clarkson saat ditanya kenapa dia lebih memilih Lamborghini Gallardo Spider yang lebih berat, lambat dan mahal dibanding versi Coupe. “At the end, people buy car by it’s look, and the Spyder looks way better than Coupe”. Desain exterior J6 yang mengusung tema Retro Futuristic ini memang sangat appealing, mobil ini tidak ada angle jeleknya, mau dilihat dari arah manapun cakep. Desain body nya ada shape New Land Rover Defender secara overall terutama bagian belakang, ada juga siluet yang mirip kia EV9 dibagian depan. Tapi walaupun terkesan comot sana-sini, desainnya tetap berkarakter dan menjadi pembeda ditengah desain Crossover/SUV listrik kekinian yang hampir semuanya blobby atau tajam-tajam. Desain handle pintu model pop-up menambah kesan modern pada mobil ini.
Oh iya, mobil ini tuh bener-bener jadi attention grabber, banyak banget yang ngeliatin bahkan sampe nanya. Ketika mobil ini saya pakai mudik, pas lagi parkir atau ngecharge jika ditotal ada kali 20 orang yang nyamperin bahkan rela berhenti dan parkir disebelah mobil saya untuk tanya, "mas ini mobil listrik ya? merk apa? BYD ya?" kebanyakan tanya seperti itu, lalu rata-rata comment nya "bagus banget ya modelnya", atau "tampangnya Laki banget". 50% yang tanya pake mobil Fortuner/Pajero Sport, bahkan ada satu yang pake LC200. Beberapa dari mereka langsung memutuskan untuk beli sambil bilang "kalau tau ada mobil listrik modelnya kaya gini saya udah beli dari kemarin". Gila ini mobil Cungkwok, bikin saya ngerasa pake Sportcar hahaha..

Panjang : 4406 mm
Lebar : 1910 mm
Tinggi : 1715 mm
Wheelbase : 2715 mm
Ground Clearance : 200 mm
INTERIOR
Senada dengan eksteriornya, desain interior J6 menggunakan banyak shape mengotak, yang menegaskan mobil ini punya karakter maskulin, sayangnya elemen "simplicity" dan futuristik ala tesla juga diterapkan sehingga hampir semua pengaturan mobil ada didalam screen. Memang terlihat keren dan simple, tapi butuh learning curve bagi orang-orang yang baru hijrah ke mobil EV. Untungnya fungsi-fungsi penting seperti folding mirror, perlampuan dan pengaturan wiper diletakkan di shortcut yang dapat diakses hanya dengan swipe layar dari atas kebawah jadi tak perlu masuk ke sub-menu yang lebih dalam. Kelegaan interior menurut saya pas karena kabin belakang lebih lega dibanding Omoda E5 & Atto 3 walaupun tak selega Aion V. Sayangnya untuk kapasitas bagasi tidak terlalu istimewa seperti kebanyakan EV lainnya, apalagi mobil ini berpenggerak RWD yang posisi motor penggeraknya ada dibelakang. Dua jempol saya kasih untuk kualitas interiornya, bener-bener terlihat dan terasa mahal, kualitas vegan (faux) leather-nya bagus dan nggak licin, material soft pad dimana-mana, semua yang tersentuh bagian tubuh saat posisi driving itu empuk yang menambah kenyamanan. Kualitas fit & finish nya pun bagus, rapih dan kokoh, bahkan menurut saya sedikit lebih bagus dibanding Mercedes entry level (A, GLA dkk), ini salah satu yang bikin saya berpaling dari Omoda E5 Ruang penyimpanan cukup banyak, center console berbentuk floating menambah volume penyimpanan cukup besar dibagian bawah. Satu hal yang unik, laci penyimpanannya hanya bisa diakses dari main screen, secara practicality merepotkan tapi menambah unsur secure terhadap barang-barang penting yang disimpan.
FEATURES
Karena terlalu banyak, saya highlight hanya fitur khas/unik saja, fitur-fitur umum seperti ABS, EBD, PW, PS dkk tidak saya cantumkan lagi. Untuk di interior, saya paling suka screen monitor nya besar, dan sudah menggunakan processor terkini yaitu Snapdragon 8155 yang membuatnya jauh lebih responsif dari punya Omoda, melihat google map pun enak dan luas. Walaupun tak ada massage seat, tapi J6 masih memiliki pendingin jok yang fungsinya sangat usable di daerah panas seperti Jakarta. Saya juga suka headrest yang bisa ditekuk seperti di kursi pesawat pada J6, enak pas kepala nyender ada bantalan empuk yang menyangga bagian samping. Mobil ini juga dilengkapi dengan Built-in Dash Cam dari DJI yang mencover semua arah, depan, belakang, kiri dan kanan dengan resolusi yang bagus. So kita tinggal colok mocro-SD dan sistemnya bekerja laiknya Dashcam aftermarket.
POWERTRAIN
Technical Specifications :
Battery Type : CATL-LFP
Capacity : 65,59 Kwh
Power : 184 Ps
Torque : 220 Nm
Front Suspension : Macpherson Strut
Rear Suspension : Multi Link (H-Arm Double Wishbone)
Honestly salah satu penyebab J6 RWD tidak masuk nominasi yang saya komparasi adalah besaran horsepower dan torque-nya yang biasa aja, malah secara angka powernya paling kecil dibanding yang lain. Awal ketertarikan saya sebelum test drive adalah ketika dibilangin sama salesnya bahwa J6 menggunakan Body & Chassis Aluminium, yang membuat bobotnya hanya 1.679 kg, lebih ringan dari Omoda E5 (1.710 kg), Atto 3 (1.825 kg) dan Aion V (1.860 kg) yang berpenggerak FWD.
Selain itu J6 juga dilengkapi Battery Armor Plate yang membungkus battery-nya yang berfungsi melindungi dari benturan dan ledakan eksternal maupun internal, serta mendapatkan sertifikasi IP67 untuk water resistant sehingga aman melewati genangan banjir dengan wading depth 60 cm hingga 30 menit.
Oh iya, suspensi belakang J6 menggunakan Multilink dengan struktur H-Arm atau lebih dikenal dengan Double Wishbone. Melihat spesifikasi teknis J6, sejak sebelum test drive saya udah predict mobil ini handlingnya bakal enak namun tetap ada body roll karena mobil ini berjenis SUV dengan body shape boxy, dan ternyata perkiraan saya tidak salah, selengkapnya saya jelasin di bagian "Drive".
DRIVE
Pada section Driving ini saya akan menceritakan experience saat pertama kali nyetir mobil ini ketika test drive, sampai saat saya pakai mobil ini sehari-hari. Masuk ke mobil kita tidak akan menemukan tombol start/stop engine karena ketika dalam keadaan unlocked mobilnya udah nyala, cukup injak pedal rem maka mobil sudah dalam posisi ready to drive. Tuas transmisi yang ada dibelakang setir sebelah kanan persis Mercedes Benz mungkin butuh penyesuaian bagi beberapa orang termasuk saya, untungnya ini Electric Shifter sehingga aman jika tersenggol ketika mobilnya sudah jalan. Posisi mengemudinya Semi-Commanding, tidak terlalu tegak seperti SUV ladder frame, tapi juga tidak tenggelam seperti crossover, saya yang sebelumnya nyetir sedan & crossover sih suka. Ok pindahkan tuas ke "D" dan injak pedal gas, lho kok laggy banget? udah gitu pas lepas gas langsung nyentak melambat ? owalah ternyata ini di mode "ECO", langsung pindah ke Normal Mode, mobil melaju dengan enteng, feel respon-nya khas EV tiongkok, power agak ditahan sedikit diawal lalu dilepas, menimbulkan efek (seolah-olah) linear.
Oke, seperti review-review sebelumnya, saya mulai dari hal-hal yang saya tidak suka dulu ya :
Pertama, dan paling annoying, Software. Mobil ini sangat bagus secara hardware, sudah punya screen yang lebih besar dan responsif dengan processor yang lebih mumpuni dan cepat, tapi Software-nya Miskin, banyak hal-hal yang bisa dikustomisasi di mobil EV lain tapi tidak bisa di J6, bahkan beberapa menu pengaturan kalah lengkap dari Omoda E5 yang pake software lawas, contohnya di J6 tidak bisa custom parameter konsumsi listrik, dan beberapa parameter lain, tapi yang paling konyol adalah tidak ada Trip Meter yang continous (Trip A/B), yang ada hanya trip meter yang auto-reset ketika mobilnya dimatikan. Jadi kalau mau hitung trip panjang ya catet Odometer manual..so silly. Software-nya seperti belum matang tapi mobilnya udah keburu harus launching, sayang padahal hardware mumpuni.
Kedua, Range & Energy Consumption. Mobil ini konsumsi listriknya tidak irit, dengan gaya mengemudi ECO driving dengan kaki sekolah, mobil ini hanya mampu mencapai 6,5 km/kwh, nggak pernah nyentuh 7 km/kwh, sehingga total jarak yang bisa ditempuh sekitar 370-380 km, sebetulnya tidak jauh dari klaim NEDC nya yang mencantumkan 425 km.
Dengan gaya nyetir normal yang kadang-kadang suka ugal biasanya cuma dapet 5,5 - 5,7 km/kwh. Gimana kalau full Ugal? ternyata perbedaannya nggak jauh-jauh amat di 4,5-5 km/kwh. So, nyetir mobil ini mending gaya normal atau sekalian bejek-bejek aja, daripada udah nahan diri tapi nggak terlalu irit juga. Untungnya dengan konsumsi listrik yang tidak irit begini hitungannya masih jauh lebih irit dibanding mobil ICE. Perbandingannya Minggu vs Bulan, pengeluaran bensin seminggu pakai Trax = Sebulan pengeluaran listrik J6
Ketiga, Top Speed yang dilimit hanya 158 kpj, yang menjadikannya paling rendah dibanding kompetitornya. Ini juga yang menyebabkan saya lebih pilih varian RWD, karena top speednya sama.
Keempat, Braking (Rem). Seperti yang dikeluhkan beberapa warga SM, performa rem mobil-mobil Chery kurang pakem. Setelah saya selidiki kalau di J6 ternyata penyebabnya adalah fitur "Comfort Braking" yang secara default dalam posisi "ON". Memang fitur ini bikin pengereman jadi smooth tapi klo highspeed agak nggelosor. Sebetulnya cukup matikan fitur tersebut maka performa rem-nya meningkat jauh tapi rem-nya jadi nyegrak dan bikin nggak nyaman penumpang.
Nah sekarang adalah hal-hal yang saya suka dari J6 RWD, yang membuat saya memaafkan segala kekurangan tadi sehingga memutuskan membeli mobil ini :
Yang langsung bisa saya rasakan dan apresiasi adalah Kualitas Ride & Bantingannya. Entah Chery belajar, nyontek atau bajak Suspension Engineer Mercedes, yang jelas karakter ride-nya "Mahal", dia empuk tapi masih ada firm-nya ditambah kualitas damping yang bagus banget, hampir semua kontur jalan hingga lubang padat atau poldur tajam yang biasanya klo di mobil lain sampai terdengar "brakk", di J6 cuma "Blegg" seperti teredam dengan baik. Feel riding-nya mirip banget sama Mercedes GLC, empuk tapi nggak ngayun, ada firm sedikit tapi nggak keras, ala European SUV/crossover. Yang kedua adalah Kenyamanan & Kekedapan Kabin yang bagus banget. Udah mobil listrik, bantingan nyaman, plus pake double glass pula. Ini jadi combo yang bikin nyetir maupun penumpang J6 nyaman dan nikmat. Kualitas Audio-nya pun surprisingly cukup bagus, karena walau tidak pakai sound system Infinity 12 Speaker seperti varian AWD, varian RWD tetap menggunakan 8 speaker dari Pioneer yang cukup ok untuk kuping awam seperti saya. Mobil ini adalah yang pertama bisa bikin isteri saya tidur ketika test drive, dan setelah test drive dia langsung approve untuk SPK walaupun selisih Rp.60 juta sama Omoda E5 (diskon). Ketiga Power Delivery. Walaupun on paper power & torsinya-nya cuma 184 hp / 220 nm, tapi mobil ini terasa gesit banget. Kickdown pake mode Normal sudah bikin badan ketarik ke jok. Pas nyoba mode Sport jujur saya kaget, karena tarikan mobil ini berasa punchy banget, berisi terus sampe topspeed (yang cuma 158 kpj). Karena sebelumnya TD Omoda E5, saya kok ngerasa nggak terlalu beda tarikannya, Butt-O-meter saya merasakan power 190-195hp & 250-260nm, dan di display pun saat idle tercantum daya listrik yang ready adalah 149 kw (200 hp), mana yang benar? entahlah..karena saya puas dengan power deliverynya, dititik ini saya udah putusin nggak perlu ambil varian AWD, karena yang RWD aja sudah seenak ini.
Keempat Handling, saya selalu inget kata-kata temen saya yang sering balap di Sentul, "Mobil yang handlingnya enak itu nggak nyeremin klo dibawa highspeed". Itulah yang saya rasakan di J6, karena saya ngerasa lebih berani zig-zag di tol dengan speed 120-140 pake J6 dibanding Omoda E5, Aion V & Atto 3. Ini jelas pengaruh Suspension & Chassis yang bagus, aluminium chassis & body-nya terasa gesit dan nggak kewalahan menanggung bobot battery-nya, plus karena RWD dan suspensi mumpuni, front-end nya terasa lebih nurut saat ditekuk kiri-kanan, sehingga manuver terasa lebih effortless dan stabil. Namun harap dicatat karena modelnya yang boxy, body roll tetap terasa, dan nggak bisa dibandingin dengan mobil Sedan & Hatchback.
---------------------------------------------------------------------------------
Lanjut bahas bagian lain,
Secara Steering, typical mobil sekarang yang pake EPS, hampir nggak ada feedback sama jalan. Untungnya bobot setir di mobil ini bisa di-adjust melalui pengaturan di screen, bahkan walaupun sudah diset berat, di mode Normal & Sport saat highspeed steeringnya otomatis menambahkan lagi bobotnya untuk safety.
Saya suka joknya, modelnya keren, empuknya pas dan kualitas faux leathernya bagus sehingga nyaman dipakai untuk jarak jauh berjam-jam, tapi tipenya lebih mengarah ke comfort seating, lumbar support-nya enak tapi side support-nya tidak memeluk badan dengan maksimal, jadi kalau belok tajam badan masih agak geser.
Kelebihan lain mobil boxy adalah visibilitas yang bagus, minim blindspot, kaca belakang pun tidak terhalang jok belakang. Walaupun mobil ini lebar (1910m) tapi gampang ngira-ngira bagian depannya karena terlihat dari posisi mengemudi.
Fitur ADAS lengkap, tapi karena saya bukan pengguna ADAS jadi cuma pernah sekedar nyoba. ADAS nya halus baik dari akselerasi maupun braking, dan semua terpantau di layar besar dan layar kecilnya.
Apalagi ya..oh iya, saya suka model spion tengahnya yang frameless dan dilengkapi autodimming, tapi masalahnya autodimmingnya rada idiot programmingnya, karena sensor cahayanya terlalu sensitif, yang menimbulkan masalah saat sore menjelang malam atau masuk basement, jadi instead of reducing light intensity dari lampu mobil belakang, dia malah bikin semua jadi gelap dan nggak keliatan apa-apa, totally useless buat dipake pas mau mundur saat gelap, untungnya ada camera 540 yang resolusinya bagus dan terang.
UGAL TEST
Ini saya lakukan setelah pakai mobilnya lebih dari 1000 km, udah paham karakternya, selah-selah akselerasi dan rem-nya, dan udah prepare dengan body-roll yang mungkin bisa membahayakan. Dari Test Ugal ini saya menemukan mobil ini punya satu "Nemesis" yaitu Aerodinamika. Seperti yang saya mention sebelumnya, Chassis & Suspensi mobil ini bagus yang bikin enak diajak ngebut dan zig-zag di tol, tapi itu hanya sampai di kecepatan 140 kpj, setelah itu body mobil ini terasa menghantam angin dan cukup mempengaruhi handling-nya, body roll nya juga makin terasa. Itu juga yang menyebabkan diatas 130 kpj wind noise mulai terdengar walaupun mobil ini pakai double glass.
Apakah mobil ini Ugal-able ? absolutely yes, karena mobil ini sangat effortless sampai topspeed, dan walaupun aerodinamikanya jelek, chassis & suspensi mobil ini masih cukup capable menjaga mobil ini di kondisi highspeed, asal berani aja. Saya sendiri hampir tiap kali lewat tol pasti hit topspeed, malah kadang klo tol nya kosong baru sadar hit topspeed setelah mentok limiter. I must say, in terms of velocity and response, "Instant Torque is a Heaven", apalagi buat kita yang gaya nyetirnya pecicilan, dijamin nggak akan pernah kalah rebutan jalur
Jujur saya merasa agak sayang, andai saja mobil ini punya aerodynamic stuff seperti lubang/celah aerodinamika di body, mungkin mobil ini akan lebih perfect, tapi saya teringat lagi bahwa ini adalah Chinese Car, begini aja udah bagus haha

RELIABILITY & RUNNING COST
Saat ini J6 menjadi daily driver saya, karena memang mobil ini literally bisa dipakai kemanapun, tak khawatir kondisi jalan rusak dan mentok karena ground clearance tinggi dan lapisan armor plate dibagian bawah, so ngehajar lobang dan poldur pun nggak ngerasa sayang, disamping karena dampingnya bagus, kaki-kaki mobil ini terbukti capable untuk hal tersebut. So far dengan pemakaian seperti itu belum ada problem mekanikal yang terjadi pada mobil saya, kalaupun ada masalah, mobil ini masih Free Maintenance (Service & Parts) selama 4 tahun.
Cost terbesar dalam memiliki mobil listrik adalah pemasangan Home Charger, untungnya sebagian ATPM masih menggratiskan Device Home Charging, so kita hanya mengeluarkan biaya pemasangan ke vendor rekanan ATPM dan PLN. Biasanya rekanan PLN akan menawarkan pemasangan Grounding, menurut saya untuk safety kita wajib pasang, karena Grounding berperan sebagai jalur alternatif bagi arus listrik yang bocor atau tidak seimbang. Jika terjadi kebocoran arus pada charger atau kabel pengisian, grounding akan menyalurkan arus tersebut langsung ke tanah.
Secara Running Cost, EV is Heaven, karena pengeluaran bensin saya seminggu di mobil ICE sebelumnya, bisa menjalankan J6 untuk sebulan :
Bensin ICE : Rp.700 ribuan / minggu
Listrik EV : Rp.700 ribuan / bulan, atau kurang lebih 170-180 ribu per minggu.
Pajak tahunan yang biasanya bayar nggak pernah kurang dari 5 juta untuk satu mobil ICE, kini cuma Rp.145 ribu
Cash Flow pun tersenyum lebar

Karena barusan ada kasus Seal berasap, berikut adalah beberapa tips sebagai tindakan preventif :
- Letak Home Charging di Garasi Luar (teras), jangan di garasi dalam.
- Pasang Grounding
- Charge Overnight max 90%
- Jika mau Full Charge harus langsung dipakai mobilnya
- Jangan terlalu sering digunakan hingga battery dibawah 20%
CONCLUSION
Membeli mobil listrik itu ibarat pindah ekosistem, seperti pindah dari Android ke IOS, atau dari Laptop ke Macbook. Jadi segala parameter yang biasa kita pakai di Android tidak bisa dipakai sebagai acuan untuk menakar performa IOS, simply karena sistem operasinya berbeda atau istilah kerennya Beda Universe. Contohnya RAM sangat berpengaruh pada performa Android, tapi kalau dicompare dengan IOS, usernya pada bilang "Apa itu RAM?".
Sama halnya dengan pindah ke Mobil Listrik, kita tidak bisa pakai parameter seperti Heritage, Soul, Character, Drama, Fun to Drive, Feedback dll, karena parameter tersebut hanya ada di ICE Universe. Sedangkan di EV Universe punya parameter lain yang tidak ada di ICE seperti ; Instant Torque, Regenerative Braking, Energy Efficiency, Cost Efficiency, Charging Speed dll. Setelah pakai EV saya pun merasa rancu apabila membandingkan kelebihan yang ada disatu Universe tapi tidak ada di Universe lain, walaupun masih ada things in common yang bisa dinilai seperti kualitas Ride, Handling, Comfort, Features dll, karena mereka sama-sama sebuah mobil.
Selanjutnya, belilah EV jika kita memang butuh, bukan sekedar untuk lifestyle atau ikut-ikutan trend. Jujur saya merasa sangat terbantu dengan privilege Bebas Ganjil-Genap karena saya memang hampir setiap hari lewat kawasan tersebut, plus bisa memperbaiki cash flow rumah tangga yang mulai bleeding karena tingginya fuel cost bagi orang dengan mobilitas tinggi seperti saya
I'm a Petrolhead, and used to be Chinese Car and EV haters, saya mengakui EV itu membunuh soul dan sebagian sensasi dari nyetir mobil ICE yang biasa kita rasakan melalui panca indera. Tapi EV memberikan kelebihan lain yang hampir mustahil kita dapatkan di mobil ICE diharga yang sama, yaitu running cost dan instant acceleration. Bayangin kita bisa ngerasain sensasi akselerasi/kickdown yang mendekati mobil dengan displacement Big Block yang harganya selangit, tapi dengan running cost & tax yang extremely low.
Waktu saya pake mobil ICE, ketika mau ngebut kadang suka mikir "ah sayang bensin, pertamax mahal cuy", pas sekarang pake J6 mau ngebut ya ngebut aja gak pake mikir, karena sengebut-ngebutnya sampe keluar tol pas sampe rumah tinggal charge yang kalau dirupiahkan nggak sampe 50 ribu.
So, Pertrolhead's soul are not gone, it just evolving.